Sabtu, 28 Januari 2012

Kematian itu Indah

Siraaj
Jum'at, 27 Januari 2012 23:28:10
(Arrahmah.com) – Kematian itu Indah, bagi siapa saja yang meyakini Allah adalah Rabb semesta alam, para Nabi dan RasulNya, MalaikatNya, KitabNya, hari akhir, segala ketetapan Allah, mereka (muslimin) yang berjalan diatas kebaikan, sehinga kematian adalah waktu yang dinanti-nanti.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah kalian mati melainkan dalam keadaan muslim (berserah diri)”. (QS. Ali Imran : 102)
Ada sebuah percakapan menarik antara seorang Ustadz dengan Jama’ahnya. Ustadz bertanya kepada Jama’ahnya, “apakah kalian ingin masuk surga?”
Semua Jama’ah menjawab dengan antusias, “Yaaa”.
Ustadz bertanya lagi, “Apakah kalian ingin mati hari ini?”
Tidak ada satupun yang menjawab, atau bahkan seorangpun tidak ingin mati.
Dengan tersenyum, Ustadz itu berkata, “Lalu bagaimana kita akan pergi ke surga, jika kita tidak pernah mati”. Ustadz melanjutkan dan bertanya, “Apakah kalian ingin saya berdo’a untuk panjangnya hidup kalian?”
Dengan antusias Jama’ah menjawab, “Yaaa”.
Ustadz bertanya lagi, “Berapa lama kalian ingin hidup? seratus tahun? dua ratus atau bahkan seribu tahun?”
Bahkan orang-orang yang berusia 80 tahun sudah tampak aneh, apalagi mereka yang berusia lebih dari seratus tahun.
Pertanyaan belum berakhir, Ustadz masih mengajukan pertanyaan, “Apakah kalian mencintai Allah?”
Jawaban para Jama’ah tentu saja “Yaa”.
Ustadz mengatakan, “Biasanya ketika seseorang jatuh cinta, dia akan selalu rindu untuk bertemu dengan kekasihnya, tidakkah kalian rindu untuk bertemu dengan Allah?”
Semua diam, tidak ada yang menjawab.
Kebanyakan dari kita merasa ngeri membicarakan kematian. Melupakan pembicaraan tentang itu, bahkan kita tidak berani membayangkannya. Hal itu karena kita tidak mempersiapkan untuk peristiwa setelah kematian (akhirat). Padahal, baik kita mempersiapkannya ataupun tidak, pasti kita akan melalui kematian. Siap atau siap, kematian dengan pasti akan datang menyambut kita. Daripada selalu mengelak, alangkah lebih baik mulai sekarang kita berusaha untuk mempersiapkannya diri-diri kita untuk menghadapi kematian.
“Tiap-tiap yang berJiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiyaa: 35)
“Di mana saja kamu berada, niscaya kematian akan menemukanmu, walaupun kamu bersembunyi di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An-Nisa`: 78)
Esensi dari kehidupan manusia adalah sebuah perjalanan kembali menuju kepada Allah. Dalam perjalanan singkat ini, ada yang kembali dengan selamat, tetapi ada juga yang jatuh ke dalam neraka. Kebanyakan diantara kita terlalu sibuk dengan urusan dunia bahkan samapi ke titik bahwa dunia ini adalah kehidupan sebenarnya, lupa bahwasannya dunia ini hanyalah tempat singgah untuk mencari rumah sebenarnya (akhirat). Keindahan dunia membuat kebanyakan manusia terlena dan tertidur lelap menapaki jalan kehidupan ini.
Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan- Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al- Hadid: 20)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah besabda bahwa orang yang paling cerdas adalah orang yang  selalu mengingat kematian, “Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya. Mereka itulah orang-orang cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kemuliaan akhirat’.  (HR. Ibnu Majah).
Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari)
Dalam kata lain, orang yang paling cerdas adalah barangsiapa yang memiliki visi yang jauh ke depan. Dengan selalu mengingat visinya dan tujuan hidupnya, dia akan selalu bersemangat dalam setiap langkah yang ditapakinya. Visi hidup seorang muslim adalah untuk kembali dan bertemu dengan Allah. Karena itu dia merasa, saat kematian adalah saat yang paling indah karena dia kan segera bertemu dengan kekasih yang telah dia sangat rindukan.
Terkadang kita takut menghadapi kematian karena kematian akan memisahkan kita dengan orang-orang dan sesuatu yang kita cintai. Orang tua, suami/ istri, anak-anak, saudara-saudara, harta, ini menunjukkan bahwa kita mencintai mereka lebih daripada Allah. Jika kita benar-benar mencintai Allah, maka kematian itu seperti undangan yang penuh kasih dari Allah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang senang bertemu Allah, maka Allahpun senang untuk bertemu dengannya. Dan barangsiapa tidak senang bertemu Allah, maka Allah pun benci untuk bertemu dengannya”. ‘Aisyah bertanya,”Wahai Nabi Allah! Apakah (yang dimaksud) adalah benci kematian? Kita semua benci kematian?” Rasulullah menjawab,”Bukan seperti itu. Akan tetapi, seorang mukmin, apabila diberi kabar gembira tentang rahmat dan ridho Allah serta SurgaNya, maka ia akan senang bertemu Allah. Dan sesungguhnya, orang kafir, apabila diberi kabar tentang azab Allah dan kemurkaanNya, maka ia akan benci untuk bertemu Allah, dan Allahpun membenci bertemu dengannya”.
Meskipun demikian, kita tidak boleh meminta untuk mempercepat kematian kita, tidak membunuh diri tanpa alasan dan tujuan yang dibenarkan syair’at. Kematian yang sia-sia tanpa sebab yang jelas malah akan menjauhkan kita dari Allah. Bunuh diri tanpa alasan dan tujuan yang benar adalah salah satu bentuk keputusasaan dari rahmat Allah, menginginkan untuk segera menemui ajal hanya karena kesulitan dunia menandakan bahwa kita ingin melarikan diri dari kenyataan hidup.
“Tidak boleh salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian, tidak juga berdoa agar segera mati sebelum kematian itu menjemputnya. Ketahuilah, sesungguhnya apabila salah seorang di antara kalian meninggal, terputuslah amalnya. Sesungguhnya seorang Mukmin tidak bertambah umurnya kecuali hal itu akan menjadi baik baginya”. (HR Muslim)
Kematian yang baik adalah mati dalam upaya untuk membawa kebaikan bagi kehidupan, mati dalam upaya untuk mewujudkan cita-cita terbesar, yaitu untuk perdamaian dan kesejahteraan ummat manusia, sebagaimana para Nabi terdahulu dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam serta para sahabatnya dan para pengikut Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam yang telah syahid di jalan Allah.
Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke istana-istana yang baik di surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS. Ash-Shaff: 12)
Akhirnya, orang-orang yang diselamatkan (masuk surga) adalah mereka yang menyadari bahwa semua kekuasaan dan kekayaan adalah sarana untuk kembali kepada Allah. Tubuh mereka mungkin bermandikan darah, keringat, dibanjiri air mata, bekerja keras untuk menaklukkan dunia tetapi hati mereka tetap terikat untuk yang dicintai, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal yang terpenting adalah, bagaimana kita dapat berusaha keras, berpikir cerdas dan memiliki hati yang tulus.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.” (QS. Al Kahfi: 107-108)
Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. ” (QS. Al Muthaffifin: 26)
Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai niatnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’am..
Wahai Pemilik Semesta Alam, ajari kami bagaimana untuk menaklukkan dunia, bukannya tunduk kepada dunia. Ketika gemerlap dunia menyilaukan pandangan kami, ketika limpahan permata dunia menggetarkan hati kami, ingatkan kami Ya Allah! ingatkan bahwa RidhoMu dan kasih sayangMu lebih besar daripada dunia yang fana yang akan kami tinggalkan pada waktu yang Engkau tetapkan, Ya Allah teguhkan kaki-kaki kami dalam menapaki perjuangan di jalanMu sehingga Engkau Ridho kepada kami dan memasukkan kami ke surgaMu yang tertinggi dimana kami dapat melihat wajahMu yang Maha Indah, Aamiin.

(siraaj/arrahmah.com)

Jumat, 27 Januari 2012

Ustadz Abu Bakar Ba’asyir tidak kunjung diizinkan memeriksa kesehatan matanya Bilal


Jum'at, 27 Januari 2012 11:42:25
JAKARTA (Arrahamh.com) – Ujian berat menimpa kembali dari balik jeruji besi tahanan Mabes Polri, ustadz Abu bakar Ba’asyir Amir jama’ah  Anshorut Tauhid (JAT) belum diizinkan untuk memeriksa kesehatan matanya yang sedang mengalami gangguan penglihatan.
Hal ini diungkapkan oleh juru bicara JAT, ustadz Son hadi di hadapan anggota DPR RI saat memenuhi undangan rapat dengar pendapat umum bersama ormas, Jakarta,kamis(26/1)
“Pimpinan kami hingga sekarang belum diperbolehkan memeriksa kesehatan matanya”kata Son hadi.
Padahal menurut ustadz Son, JAT telah mengirim surat permohonan pemeriksaan kesehatan berulangkali kepada Mahkamah Agung.
“kita sudah tiga kali kirim surat ke MA, tapi belum ada jawaban hingga sekarang” ujarnya.
Adapun alasan yang diberikan pihak MA, malah terkesan lucu bagi ustadz Son hadi. Yaitu, keputusan izin menurut MA  merupakan hak Hakim kasasi yang memberikannya, sedangkan Hakimnya sendiri belum ditunjuk dalam masa pergantian Hakim.
“Mestinya kan, sudah ada mekanisme baku. Apakah harus menunggu seseorang sakit parah dulu,baru ditunjuk hakimnya? ” lontarnya.
Ia berharap, pihak-pihak terkait mau memperhatikan hak-hak kemanusiaan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Karena ustadz Abu Bakar Ba’asyir memang mengalami gangguan kesehatan pada matanya.
“Ustadz benar-benar sakit, ini tidak dibuat-buat seperti para koruptor untuk menghindari persidangan” ucap Ustadz Son Hadi sembari menjelaskan kondisi mata kanan ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang kesulitan melihat.
Meski demikian, JAT sendiri menurut ustadz Son, akan tetap meminta MA untuk memberikan izin pemeriksaan kesehatan kepada Amir JAT.
“Kita akan tetap mendesak MA,agar memperhatikan hak-hak Ustad Abu” tandasnya.(bilal/arrahmah.com)

Komputer Tablet bisa sebabkan sakit leher akut

Siraaj
Jum'at, 27 Januari 2012 14:24:33
(Arrahmah.com) – Orang-orang yang menggunakan Komputer Tablet seharusnya menempatkan komputer itu pada sebuah mereka dan mengatur kemiringan layar bukannya menaruh di pangkuan mereka dalam waktu yang lama.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Harvard dan para ahli Microsoft mengatakan bahwa para pengguna Komputer Tablet memiliki resiko lebih tinggi dari sakit di sekitar leher daripada para pengguna laptop.
Jack Dennerlein, Dosen Departemen Kesehatan Lingkugan di Universitas Harvard memfilmkan 15 orang sukarelawan saat mereka sedang bekerja menggunakan Komputer Tablet dalam empat konfigurasi umum dan mengamati gerak-gerik mereka dengan menggunakan sistem analisa gerakan.
Pada posisi pertama, Komputer Tablet tidak ditempatkan di meja tetapi ditempatkan di sebelah pangkuan tangan, sementara sebelah tangan yang lain digunakan untuk menyentuh layar.
Pada kasus posisi kedua, para pengguna menaruh Komputer Tablet mereka di pangkuan mereka dan bekerja dengan kedua tangan mereka pada layar.
]Pada konfigurasi ketiga atau kasus posisi ketiga, Komputer Tablet ditempatkan di atas meja dimana layarnya didirikan di sudut yang lebih rendah dan para sukarelawan bekerja dengan kedua tangan mereka.
Pada kasus posisi terakhir, Komputer Tablet ditempatkan diatas meja dengan kemiringan pada sudut yang lebih tinggi.
Kesimpulannya, para pengguna Komputer Tablet umumnya lebih banyak menderita sakit kepala dan leher akut daripada pengguna komputer desktop atau laptop, kata laporan yang diterbitkan dalam jurnal accident prevention.
Penelitian juga menunjukkan bahwa ketika dua Komputer Tablet di tempatkan di sudut yang paling tajam (tinggi), postur badan pengguna mendekati posisi netral.
Hasil menunjukkan bahwa para pengguna Komputer Tablet dapat menempatkan Tablet mereka di tempat yang lebih tinggi, diatas meja daripada di pangkuan tangan, untuk menghindari sudut yang lebih rendah yang menyebabkan sakit kepala dan leher akut.
(siraaj/arrahmah.com)

Pasukan rezim Saudi bunuh lagi seorang muslim


Siraaj
Jum'at, 27 Januari 2012 09:00:13
SAUDI ARABIA (Arrahmah.com) – Pasukan rezim Saudi membunuh lagi seorang muslim yang ikut demonstrasi anti-rezim, di kota Awamiyah di timur negara itu.
Pada Kamis (26/1/2012), seorang demonstran yang diidentifikasi sebagai Montazar Sa’id Al-Abdel, ditembak mati dan dua lainnya mengalami luka-luka oleh pasukan rezim Saudi di provinsi Timur negara itu.
Sedikitnya tujuh pengunjuk rasa anti-pemerintah telah dibunuh oleh pasukan rezim Al Saud sejak November 2011. Kelompok hak asasi manusia mengecam rezim Al Saud, mendesaknya untuk menyelidiki kematian.
Rakyat Saudi telah mengadakan demonstrasi damai sejak Februari tahun lalu, yang masih berlanjut hingga saait ini di wilayah timur negara itu, menuntut reformasi politik, kebebasan berekspresi dan pembebasan para tahanan politik.
Para demonstran juga menuntuk untuk mengakhiri diskriminasi ekonomi dan keagamaan serta keterlibatan pemerintah mereka dalam penumpasan brutal terhadap para demonstran di Bahrain.
Demonstrasi ]damai telah berubah menjadi aksi protes terhadap keluarga Al Saud sejak November tahun lalu, ketika pasukan rezim Saudi dengan brutal menyerang para demonstran.
Bulan ini, rezim Saudi lagi-lagi meningkatkan penumpasan brutal terhadap para demonstran.
Pada hari Selasa (24/1), pasukan rezim Saudi menembaki demonstran di wilayah Qatif di provinsi Timur, melukai banyak orang, beberapa yang terluka dilaporkan dalam kondisi kritis.
Sembilan orang demonstran juga ditangkap karena keterlibatan mereka dalam demonstrasi anti-rezim.
Pada hari Senin (23/1), pasukan rezim Saudi menahan Zaher Al-Zaher, seorang aktivis sosial, di Awamiyah.
Pasukan rezim juga telah membunuh seorang demonstran, Essam Mohamed Abu Abdellah (22) dan melukai tiga lainnya di Awamiyah pada (12/1).
Sementara itu, keluarga Al Saud menikmati hari-hari mereka di istana di tanah kaum muslimin, tanpa mempedulikan darah-darah kaum muslimin, ironis!.
(siraaj/arrahmah.com)

Dialog Jihad antara Muwahhid dengan Munafik


Saif Al Battar
Kamis, 26 Januari 2012 23:24:54
(Arrahmah.com) – Sebuah dialog ringan antara al Haq (Muwahhid) dan al Bathil (Munafik) mengenai urgensi Jihad fie sabilillah. Dialaog ini akan menunjukkan bagaimana sang munafik ini ingin membelok-belokkan makna Jihad menjadi rancu, namun sang muwahhid bisa membalasanya dan meluruskanya dengan jawaban-jawaban yang sangat cerdas yang disador dari Al Qur’an dan Al Hadits. Semoga dialog ini mencerdaskan dan membuka hati mereka yang membecinya, Insya Allah.
 
***
[Munafik]
“Apakah Anda mengetahui tentang jihad fi sabilillah ?” [Muwahid]
Kami tidak akan menjawabnya secara ratio, kami menjawabnya sebagaimana Rosululloh menjawab pada saat para Shohabat bertantang kepadanya,
“Apa hijroh yang terbaik? Beliau menjawab,”Al Jihad Fii sabilillah”, mereka bertanya,”Apa jihad itu yaa Rosululloh? “Beliau menjawab,”memerangi Kuffar jika kamu datang kepada mereka (berperang)” Mereka bertanya,”Apa jihad yang terbaik?” Beliau menjawab “Seseorang yang kudanya terjatuh dan darahnya mengalir” (Musnad Imam Ahmad)
Dan dalam riwayat yang lain, Shohabat bertanya,”Manakah (kondisi) terbunuh yang sebaik-baiknya ?” Rosululloh menjawab,”Seseorang yang darahnya mengalir dan kudanya terbunuh.” (Abu Daud)
Maka tidak ada seorangpun yang bisa mengatakan bahwa sebaik-baik jihad adalah menuntu ilmu dan sebagainya, tetapi sebaik-baik jihad adalah terbunuh. Juga dalam riwayat Bukhari dan Muslim, Rosululloh bersabda,
“Pergilah dan kembalilah ke medan pertempuran karena Alloh, itu lebih baik daripada dunia dan seisinya dan sebaik-baik Ghazwa adalah pada saat darahnya mengalir dan kudanya terbunuh.”
[Munafik]
Tetapi waktu kita saat ini tidak sama dengan masa lalu, dimana ada Khilafah dan sebagainya, pada saat ini tidak ada jihad dengan pedang, tetapi pada saat ini jihad dengan pena, satelit dan sebagainya, dari ekonomi, voting dan sebagainya… kita harus membangun infrastruktur dari Ummat sebelum kita berperang.
[Muwahid]
Alasan mengapa kita harus berperang sekarang adalah karena Alloh memerintahkan kita,
“Maka berperanglah kamu pada jalan Alloh, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Alloh menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Alloh amat besar kekuatan dan amat keras siksaan (Nya).” (QS An Nisaa: 84)
Alloh menjelaskan bahwa kita hanya harus berusaha dan Alloh selanjutnya akan menentukan hasilnya. Menghentikan jihad dan mencegah mujahidin atau mengecilkan hati orang-orang dari berperang adalah sebuah karakter dari Munafiqun. Alloh Ta’ala berfirman,
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka….”(QS Muhammad 47: 4)
Alloh tidak mengatakan, pada saat kamu bertemu musuh,”tuntutlah ilmu” atau “bangunlah infrastruktur”, tetapi Alloh memerintahkan kita untuk memerangi mereka.
Lebih lanjut, Alloh memerintahkan kita untuk menyeru kebaikan dan mencegah kemunkaran. Salah satu dari menyeru kebaikan dan mencegah kemunkaran adalah menyeru orang untuk sholat, puasa, membantu orang yang membutuhkan dan sebagainnya, dan di antaranya yang telah disepakati Ulama adalah,
“Tidak ada yang bisa menyamai jihad fii sabilillah (pada saat itu menjadi fardhu ‘ain)”
Pada saat jihad menjadi fardhu ‘ain, itu bahkan di atas sholat, zakat, haji dan semua ibadah lainnya, pada saat kita berperang dalam jihad defensif, jihad kita adalah sholat kita, kita tidak bisa menghentikan jihad bahkan untuk sholat, jadi bagaimana bisa menghentikan jihad dengan tujuan untuk menuntut ilmu?
[Munafik]
Kita tidak bisa berjihad; jika mempunyai hutang, bayarlah hutang terlebih dahulu.
[Muwahid]
Dalam jihad defensif kita tidak perlu membayar hutang terlebih dahulu, Imam Ibnu Qudama Al Maqdisi dalam Al Mughni jilid 9 berkata,
“Jika jihad menjadi Fardhu ‘ain, dia tidak perlu meminta izin dari seseorang yang memberikannya pijaman, itu teks dari Imam Ahmad, dari Ibnu Abbas,”Jika jihad menjadi fardhu, dia tidak perlu meminta izin dari orang yang meminjamkannya.”
[Munafik]
Laksanakan Sholat dulu.
[Muwahid]
Sholat adalah kewajiban dan meninggalkannya adalah kufur, tetapi jika jihad menjadi fardhu ‘ain, itu menjadi lebih penting daripada sholat, Imam empat mahzab menyetujui bahwa sholat adalah Fardhu, puasa adalah fardhu, zakat adalah fardhu, tetapi jika jihad menjadi fardhu ‘ain, itu lebih utama dari semua ibadah yang lain tetapi dia seharusnya melakukan sebisa mungkin jika dia bisa melakukannya, Imam Ahmad bahkan berkata,
“Jika musuh datang, kemudian sepanjang dia berperang, dia tidak bertanggungjawab atas semua kewajibannya yang lain sampai musuh berhenti.”
Imam Qurtubi berkata,
“Adalah sebuah kewajiban atas Imam untuk tetap menaklukan musuh setiap tahun…”
Ibnu Katsir berkata,
“Kita harus memerangi kuffar yang paling dekat sampai kita berjalan untuk mendatangi mereka.”
Alloh berfirman,
“Wahai orang-orang beriman perangilah orang-orang kafir yang paling dekat denganmu.”
Ini mempunyai implikasi, jika musuh memasuki negeri kita, mereka sangat dekat dengan kita kemudian kita harus memerangi mereka, jika mereka tidak masuk ke negeri muslim tetapi pemerintah mendeklarasikan Kufur Bawah (kekufuran yang nyata), mereka adalah musuh yang paling dekat dengan kita. Kemudian, jika ada Khilafah, musuh yang paling dekat adalah Kuffar yang berada di luar batas negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan kita.
[Munafik]
Mengapa kita berperang?
[Muwahid]
Karena kita bukan Munafiqun dan seseorang yang tidak berparang adalah Munafiq, Nabi Muhammad sholallohu ‘alaini wasallam bersabda,
“Siapa saja yang mati dalam keadaan tidak berperang dan tidak juga mempunyai niat untuk berperang di jalan Alloh dia mati dalam sebuah cabang Nifaq.”
Dan jika kita tidak mengatakan demikian, Alloh berfirman,
“Jika kamu tidak berperang Alloh akan mengazabmu dengan amat pedih.”
Rosululloh bersabda,
“Seseorang yang tidak berperang tidak juga menyiapkan orang-orang yang berperang, tidak juga memperhatikan keluarga orang-orang yang berperang, Alloh akan mengirimkan kepadanya sebuah azab sampai hari pengadilan.”
[Munafik]
Setalah jihad, apakah yang kamu lakukan sebagai pengganti? Kita membutuhkan enginer (insinyur), dokter dan sebagainya.
[Muwahid]
Kita tidak mengatakan janganlah pergi berjihad karena kamu tidak mempunyai sebuah jawaban, kita membutuhkan enginer untuk membangun gedung, tapi, itu menjadi tidak penting jika kuffar masih membunuh Muslim, Alloh berfirman,
“Maka berperanglah kamu pada jalan Alloh, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Alloh menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Alloh amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya).” (QS An Nisaa, 4: 84)
Alloh tidak pernah memerintahkkan kita untuk menteror Kuffar dengan gelar, derajat dan pendidikan, Alloh berfirman,
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Alloh dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Alloh mengetahuinya.” (QS Al Anfal, 8: 60)
 
wallahu a’lam bish showab..
 
(saif al battar/ fursan/arrahmah.com)

Pasukan salibis AS gunakan pampers saat berperang dengan mujahidin Taliban


Siraaj
Jum'at, 27 Januari 2012 09:00:00
AFGHANISTAN (Arrahmah.com) – Hal ini mungkin tampak “tak dipercaya” bagi anda, tapi hal ini adalah nyata bahwa pasukan salibis AS menggunakan pampers (popok) saat berperang dengan mujahidin Taliban. Dan sekarang kondisi mereka (musuh) semakin “menyedihkan” karena pasokan pampers mereka harus terhambat, karena blokade Pakistan atas pasokan AS-NATO ke Afghanistan.
Berita yang sangat mengejutkan karena AS yang dianggap “super power” dan pasukan mereka yang ditakuti oleh para budak salibis-zionis, namun kenyataan yang memalukan bahwa mereka ketakutan menghadapi mujahidin sehingga menggunakan pampers saat berperang.
Ansar Abbasi, seorang penulis terkemuka dan editor di  salah satu surat kabar dari Pakistan, Berita internasional situs itu telah memunculkan fakta menarik dengan menerbitkan kolom lucu “Pampers (popok) Angkatan Darat (AS)”.
Dia mengatakan juru bicara ISAF di Afghanistan dihubungi terkait hal ini, ISAF membantah bahwa Abbasi  bukanlah seorang prajurit, juga tidak tahu bahwa marinirAS dan tentara NATO memakai popok saat berperang perang melawan Taliban di Afghanistan.
Namun sebuah sumber diplomatik mengatakan blokade pasokan untuk AS-NATO oleh Pakistan telah membuat tentara salibis menderita di banyak aspek, termasuk kekurangan pampers yang parah untuk tentara salibis AS-NATO.
Selain itu salah satu surat kabar berbahasa urdu bulan lalu melaporkan bahwa pemerintah teroris AS telah menghubungi Pakistan mendesak untuk segera menyediakan pampers.
Laporan surat kabar itu mengklaim bahwa laporan kekurangan pampers pertama kali muncul di media AS tapi laporan resmi tidak pernah dikonfirmasi oleh AS atau Komado Sentral NATO. Dikatakan bahwa selama operasi militer dan saaat memerangi Taliban di Afghanistan, tentara AS memakai pampers untuk melawan musuh-musuh mereka tanpa terlalu mempertaruhkan hidup mereka.
Menurut salah seorang analis, pasukan AS-NATO yang berlapis baja dan kendaraan-kendaraan canggih mereka, tidak berani untuk keluar dari kendaraan mereka untuk meringankan rasa takut mereka akan serangan Taliban.
Laporan itu menunjukkan bahwa pasukan salibis AS-NATO menggunakan pampers karena mengeluarkan airseni karena takut menghadapi mujahidin Taliban.
Meskipun keunggulan teknologi mereka yang ekstrim serta penyebaran ratusan ribu pasukan mereka di Afghanistan untuk melawan mujahiidn Taliban, Amerika telah hampir kalah perang melawan mujahidin Taliban yang jauh lebih sedikit  jumlahnya.
Itu adalah rasa malu atas kekalahan pasukan salibis AS dan antek-anteknya di Afghanistan.
(siraaj/arrahmah.com)

Selasa, 24 Januari 2012

Serial Tatbiqush Syari'ah: Kapan menerapkan selain hukum Allah menyebabkan pelakunya murtad? (1)


Muhib Al-Majdi
Senin, 23 Januari 2012 11:57:24
(Arrahmah.com) – Dalam lima artikel sebelumnya, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Al-Abdul Lathif telah menguraikan dengan jelas urgensi penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Mulai artikel ini, beliau menjelaskan kapan menerapkan selain hukum Allah menyebabkan pelakunya murtad dan keluar dari Islam. Uraian beliau diterjemahkan dari disertasi beliau, Nawaqidh al-Iman al-Qauliyah wa al-‘Amaliyah, cetakan Darul Wathan, Riyadh, 1414 H.
***
Pembahasan Kedua:
Kapan memutuskan perkara dengan selain hukum Allah membatalkan keimanan?

Jika telah tetap bahwa menetapkan hukum merupakan salah satu karakteristik rububiyah (ketuhanan) Allah SWT, sehingga halal adalah perkara yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya semata, haram adalah perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya semata, dan dien (pedoman hidup, agama) adalah perkara yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya semata; maka tidak ada seorang pun yang memiliki kewenangan untuk keluar dari suatu perkara pun yang telah ditetapkan dalam dien Allah, justru kewajibannya adalah mengikuti syariat Allah SWT. Allah berfirman:
اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kalian mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raf [7]: 3)

Demikian juga wajib mengkufuri taghut, dengan tidak meminta putusan perkara kepada taghut (hukum taghut), meyakini kebatilan taghut, dan berlepas diri darinya. Sebagaimana firman Allah:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا
Maka siapa mengkufuri thaghut dan beriman kepada Allah, niscaya ia telah berpegang teguh dengan tali ikatan yang kokoh (kalimat syahadat, pent) yang tidak akan pernah terlepas lagi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Sesungguhnya iman yang sejati menuntut ketaatan kepada hukum Allah, yang merupakan hukum terbaik secara mutlak. Demikianlah sikap orang-orang beriman yang jujur dan yakin. Allah berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Dan siapakah yang hukumnya lebih baik daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?  (QS. Al-Maidah [5]: 50)
Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak  bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. (QS. Al-Ahzab [33]: 36)
Adapun orang yang meminta putusan perkara kepada taghut atau hukum jahiliyah, lalu ia mengklaim sebagai orang yang beriman, maka klaimnya tersebut dusta seperti kondisi kaum munafik yang disebutkan dalam firman Allah:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa (wahyu Allah) yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu? Mereka ingin berhukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa’ [4]: 60)
Allah telah menamakan orang-orang yang memutuskan perkara dengan selain syariat-Nya sebagai orang-orang kafir, zalim, dan fasik. Allah berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.  (QS. Al-Maidah [5]: 44)

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]: 45)

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]: 47)
Memutuskan perkara dengan selain hukum yang Allah turunkan merupakan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan membatalkan keimanan, dalam beberapa bentuk dan keadaan. Kami akan membicarakan sebagiannya sebagai berikut.
Pertama: Membuat undang-undang selain hukum yang Allah turunkan
Telah tetap, sejak pembahasan awal, wajibnya mengesakan Allah dalam perkara menetapkan hukum dan undang-undang. Allah berfirman:
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.  (QS. Al-A’raf [7]: 54)
Jika Allah SWt adalah satu-satunya Dzat Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, dan mematikan, tiada sekutu bagi-Nya dalam perkara-perkara ini; maka Allah SWt pula satu-satunya Dzat Yang (memiliki hak untuk) menetapkan undang-undang, menghalalkan, dan mengharamkan. Dien (pedoman hidup, agama) hanyalah apa yang Allah tetapkan, tiada seorang pun yang berhak menetapkan suatu perkara yang tidak bersumber dari Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Menetapkan hukum hanyalah hak Allah SWT semata tiada sekutu bagi-Nya. Barangsiapa menyaingi Allah dalam sebagian penetapan hukum, maka ia adalah seorang musyrik. Berdasar firman Allah:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk  mereka  dien (pedoman hidup, hukuk, agama)  yang tidak diizinkan Allah? (QS. Asy-Syura [42]: 21)
Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ini menulis:
“Mereka tidak mengikuti dien (pedoman hidup, hukum, agama) yang lurus yang Allah tetapkan untukmu. Mereka justru mengikuti apa yang ditetapkan oleh setan-setan (pemimpin kekafiran) mereka dari gologan jin dan manusia, berupa pengharamkan apa yang Allah halalkan untuk mereka — yaitu Bahirah, Saibah, Washilah, dan Ham— dan penghalalan (apa yang Allah haramkan atas diri mereka) makan bangkai, darah, perjudian, dan kesesatan-kesesatan serta kebodohan-kebodohan batil lainnya yang mereka ada-adakan pada zaman jahiliyah mereka berupa penghalalan (hal yang haram), pengharaman (hal yang halal), ibadah-ibadah yang rusak dan harta-harta yang rusak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/113)
Allah menamakan orang-orang yang ditaati dalam kemaksiatan yang mereka hiasi hingga nampak indah, sebagai syuraka’ (sesembahan-sesembahan dan sekutu-sekutu selain Allah) (Lihat Adhwaul Bayan, 4/83 dan 7/173).  Allah berfirman:
Allah berfirman:
وَكَذَلِكَ زَيَّنَ لِكَثِيرٍ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلاَدِهِمْ شُرَكَآؤُهُمْ
“Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka…” (QS. Al-An’am [6]: 137)
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan para pendeta dan ahli  ibadah mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allah dan mereka juga mengambil Al-Masih Ibnu Maryam (sebagai rabb selain Allah). Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Ilah Yang Maha Esa. Tak ada Ilah yang berhak diibadahi selain-Nya. Maha Suci Allah dari kesyirikan mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 31)
Para pendeta dan ahli ibadah yang menetapkan hukum selain yang Allah tetapkan tersebut adalah orang-orang kafir, dan kekafiran mereka tidak diragukan lagi, karena mereka menyaingi Allah dalam hak rububiyah-Nya dan mereka mengganti dien dan syariat Allah. (Lihat Asy-Syariah Al-Ilahiyah, hlm. 179-182)
Jika mengikuti hukum orang-orang yang menetapkan hukum selain hukum yang Allah syariatkan adalah sebuah kesyirikan, dan Allah telah memvonis musyrik para pengikut tersebut. Sebagaimana firman-Nya:
وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.(QS. Al-An’am [6]: 121)

Maka bagaimana lagi dengan orang-orang yang menetapkan hukum tersebut? (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/163, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 7/70, dan Adhwaul Bayan, 3/440)

Allah juga berfirman:
 إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُواْ يُحِلِّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِّيُوَاطِؤُواْ عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللّهُ فَيُحِلُّواْ مَا حَرَّمَ اللّهُ
Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu  adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah.  (QS. At-Taubah [9]: 37)

Imam Ibnu Hazm berkata  tentang makna ayat ini: “Dengan bahasa Arab yang Al-Qur’an turun dengannya, tambahan pada sesuatu tidak mungkin berasal kecuali dari sesuatu tersebut, bukan dari hal selainnya. Maka benarlah bahwa mengundur-undurkan (bulan haram) adalah kekufuran. Ia merupakan sebuah perbuatan, yaitu menghalalkan apa yang Allah haramkan.” (Al-Fashl fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 3/245)
Orang-orang yang menetapkan hukum yang tidak diizinkan oleh Allah tersebut, hanya membuat hukum-hukum taghut tersebut karena mereka meyakini bahwa hukum buatan mereka lebih baik (lebih sesuai) dan lebih bermanfaat bagi manusia. Hal ini adalah perbuatan murtad dari agama Islam. Bahkan menerima hukum tersebut, walau hanya hukum yang sedikit sekalipun, berartii tidak ridha dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Hal ini merupakan kekafiran yang mengeluarkan dari agama Islam.  (Lihat Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 12/500 dan Al-Majmu’ ats-Tsamin karya syaikh Utsaimin, 1/36)
Lebih dari itu, menetapkan hukum selain hukum Allah merupakan tindakan memperbolehkan keluar dari ketaatan kepada syariat yang diturunkan oleh Allah. Dan barangsiapa memperbolehkan manusia untuk keluar dari syariat Allah, maka ia telah kafir menurut ijma’ ulama. (Lihat Majmu’ Fatawa, 27/58-59 dan 28/524 serta Al-Bidayah wan Nihayah, 13/119)
“Sesungguhnya para taghut manusia, baik zaman dahulu maupun sekarang, telah menyaingi Allah dalam hak memerintah, melarang, dan menentukan hukum tanpa izin Allah SWT. Para pendeta dan ahli ibadah (Yahudi dan Nasrani) telah mengklaim hak tersebut untuk diri mereka maka mereka menghalalkan hal yang haram dan mengharamkan hal yang halal. Mereka membelenggu manusia dengan hak itu, maka mereka menjadi Arbab (tuhan-tuhan) selain Allah.
Para raja kemudian ikut memperebutkan hak ini, maka mereka membagi-bagi hak ini di antara mereka dengan para pendeta dan ahli ibadah (Yahudi dan Nasrani). Setelah itu kaum sekuler datang dan merebut hak ini dari para raja maupun para pendeta dan ahli ibadah. Mereka lantas menyerahkan hak ini kepada lembaga yang mewakili rakyat atau bangsa, yang mereka namakan parlemen atau majelis (dewan) perwakilan rakyat…” (Nazhariyatus Siyadah wa Atsaruha ‘ala Syar’iyyat al-Anzhimah al-Wadh’iyyah, hlm. 19-20)
Mayoritas pemerintahan yang berkuasa atas negeri-negeri kaum muslimin —setelah dikaji Undang-undang Dasarnya— telah melepaskan diri dari akidah mengesakan Allah SWt dalam hak menetapkan hukum. Mayoritas pemerintahan tersebut menjadikan hak menetapkan hukum dan kedaulatan berada di tangan bangsa atau rakyat. Terkadang pemerintahan tersebut juga memberi hak kepada penguasa (presiden, eksekutif, pent) untuk membuat hukum, bahkan terkadang hanya penguasa tersebut yang memiliki hak untuk menetapkan hukum. Semua gaya pemerintahan tersebut menentang hakekat agama Islam yang mewajibkan ketundukan dan penerimaan terhadap dien (pedoman hidup, hukum, dan agama) Allah SWT. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. (Nazhariyatus Siyadah wa Atsaruha ‘ala Syar’iyyat al-Anzhimah al-Wadh’iyyah, hlm. 12-16)
Dr. Shalah Shawi mengatakan tentang kondisi tersebut:
“Sesungguhnya kondisi yang dihadapi oleh masyarakat-masyarakat kita pada zaman sekarang adalah kondisi mengingkari bahwa Islam memiliki hubungan dengan persoalan-persoalan negara dan sejak awal menghalangi ajaran-ajaran dalam syariat Islam dari mengurus persoalan-persoalan negara, serta menetapkan hak membuat hukum secara mutlak dalam seluruh aspek kehidupan bernegara kepada parlemen dan dewan legislative (majelis/dewan perwakilan rakyat).
Kita tengah berhadapan dengan sebuah kaum yang meyakini dengan pasti bahwa kedaulatan penuh dan kewenangan membuat hukum secara mutlak berada di tangan dewan legislative. Bagi mereka, halal adalah apa yang dihalalkan oleh dewan legislative, haram adalah apa yang diharamkan oleh dewan legislative, wajib adalah apa yang diperintahkan oleh dewan legislative, peraturan adalah apa yang ditetapkan oleh dewan legislative. Sebuah perbuatan tidak disebut kejahatan kecuali apabila melanggar hukum yang ditetapkan oleh dewan legislative, sebuah kejahatan tidak akan dihukum kecuali berdasar hukum yang ditetapkan oleh dewan legislative, dan tidak dianggap hukum kecuali teks-teks hukum yang ditetapkan oleh dewan legislative…
Inilah ujian yang hari ini kita hadapi. Kondisi ini tidak mungkin diperbaiki hanya dengan melakukan tambal-sulam secara parsial dengan membuang sebagian pasal-pasal hukumnya atau membuang sebagian teks hukumnya. Ia hanya bisa diperbaiki dengan cara sejak awal  kita menetapkan bahwa kedaulatan mutlak dan kekuasaan tertinggi adalah milik syariat Islam, dan kita menetapkan bahwa semua undang-undang dan peraturan yang bertentangan dengan syariat Islam dinyatakan batal.” (Tahkimusy Syari’ahwa Da’awil Ilmaniyyah, hlm. 81, karya Dr. Shalah Shawi)
Pelecehan dan pencampakan syariat Allah dalam Undang-undang Dasar sebagian Negara tersebut telah sampai pada kondisi mereka menjadikan syariat Allah ini sebagai sumber sampingan dari sumber undang-undang, sehingga syariat Islam berada pada posisi setelah hukum positif dan hukum adat. Mereka juga secara terang-terangan menegaskan bahwa hak menetapkan undang-undang berada di tangan selain Allah, di mana menurut mereka dalil-dalil syariat Islam tidak bisa menjadi undang-undang jika mereka hendak mengamalkannya, kecuali apabila telah ditetapkan oleh pihak yang memiliki hak menetapkan undang-undang, yaitu kekuasaan legislative yang telah diberi hak oleh Undang-undang Dasar untuk menetapkan undang-undang.
Adapun kenyataan bahwa syariat Islam ini diturunkan oleh Allah SWT, menurut mereka, tidaklah menjadikan syariat Islam menjadi undang-undang; apalagi menjadikan syariat Islam sebagai Undang-undang dasar yang menguasai dan memerintah (bangsa dan negara). Justru, kebiasaan yang terjadi adalah penyingkiran prinsip-prinsip dalam syariat Islam! (Lihat penjelasan rinci atas masalah ini dalam kitab Haddul Islam wa Haqiqat al-Iman, hlm. 365-377, karya Abdul Majid Syadzili)
Undang-undang dasar dan undang-undang turunannya ini oleh para penganutnya bahkan telah memiliki hak kehormatan dan pengagungan, seperti halnya syariat Allah. Syaikh Ahmad Syakir menjelaskan masalah ini dengan mengatakan:
“Undang-undang yang diwajibkan oleh musuh-musuh Islam atas kaum muslimin ini…pada hakekatnya adalah agama lain yang mereka jadikan sebagai agama bagi kaum muslimin, sebagai pengganti atas agama mereka yang suci dan luhur. (Hal itu) karena mereka mewajibkan kepada kaum muslimin untuk menaati undang-undang tersebut dan mereka menanamkan dalam hati kaum muslimin rasa cinta, pensucian, dan fanatisme terhadap undang-undang tersebut. Sampai-sampai lewat lisan dan tulisan seringkali muncul istilah-istilah ‘pensucian (kultus) undang-undang’, ‘kesucian vonis hukum’, ‘kehormatan pengadilan’, dan istilah-istilah sejenis. Kemudian mereka menyebut undang-undang tersebut dan kajian terhadapnya dengan istilah ‘fiqih’, ‘faqih’, ‘tasyri’ (menetapkan undang-undang), ‘musyarri’ (orang yang menetapkan undang-undang), dan istilah-istilah sejenis yang biasa dipakai oleh ulama Islam untuk menyebut syariat Islam dan ulama syariat.” (Umdatut Tafsir, 3/124 secara ringkas)
Sesungguhnya syariat Allah wajib menjadi satu-satunya pemegang supremasi  dan pemegang kedaulatan atas seluruh undang-undang lain. Syariat Islam wajib menjadi satu-satunya sumber perundang-undangan. Maka kita tidak boleh tertipu oleh perkataan sebagian mereka bahwa syariat Islam adalah sumber pokok pembuatan undang-undang, karena ungkapan syirik ini mengandung sikap menerima dan ridha kepada sumber-sumber lain dalam pembuatan undang-undang, sekalipun hanya sumber-sumber cabang. (Dhawabit Takfir, hlm. 115-116 karya Abdullah Al-Qarni dan Adhwa’ ‘ala Rukn min at-Tauhid, hlm. 20 karya Abdul Aziz bin Hamid)
Allah SWT berfirman:
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (QS. Al-Maidah [5]: 49)

Insya Allah bersambung…

(muhib al-majdi/arrahmah.com)

Ratings and Recommendations

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Templates | Affiliate Network Reviews