Kamis, 01 September 2011

Hormat Bendera, Kewajiban dan Kebatilan?
Diposting pada Selasa, 07-06-2011 | 22:18:58 WIB
Dua sekolah di wilayah Kabupaten Karanganyar (yakni SMP Al Irsyad Al Islamiyah di Tawangmangu dan sekolah SD IST Al Albani, Matesi, Jawa Tengah) diduga enggan melakukan penghormatan kepada bendera merah putih. Pihaknya sekolah beralasan, menghormat bendera berarti menyamakan dengan menyembah Tuhan.

Mendapat laporan tersebut Bupati Karanganyar, Rina Iriani menyatakan akan menindaklanjutinya. Jika memang nantinya terbukti, maka pihak pemerintah kabupaten (pemkab) setempat akan memberikan sanksi bahkan tidak menutup kemungkinan dua sekolah itu bakal ditutup karena dianggap menyimpang dan makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Lebih lanjut bupati yang juga tersangkut kasus dugaan korupsi Perumahan Griya Lawu Asri (GLA) dan sedang ditangani Kejaksaan Tinggi jateng ini mengatakan sebagaimana dikutip news.okezone.com, “Saya katakan NKRI adalah harga mati. Kalau sudah tidak menghormati bendera, tidak mau membaca Pancasila dan UUD 45, dan tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya, ini apa? Mau dibawa kemana anak-anak kita?” kata Rina kepada wartawan, Senin (7/6/2011).

Kehebohan soal hormat bendera ini seakan mau menutup hebohnya drama korupsi yang mengguncang partai demokrat atau berita tak kunjung tertangkapnya Nunun nur Baeti, tersangka suap yang melibatkan para pejabat tinggi. padahal menangkap teroris yang sembunyi-sembunyi aja polisi mampu, sedangkan Nunun yang udah jelas lokasinya mereka kewalahan. rasanya Densus perlu disewa untuk kasus ini :)

Sebenaranya hal ini (masalah hormat bendera) hanyalah penegasan sikap penguasa terhadap sikap rakyatnya yang tidak mau menghormat bendera. Sebelumnya penryataan salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kebudayaan, KH Cholil Ridwan, yang berpendapat jika menghormati bendera adalah haram hukumnya, lumayan memicu kehebohan dan tanggapan berbagai pakar yang merasa dirinya nasionalis dan patriotis.

Menurut ustadz Cholil seperti yang dilansir dalam tanya jawab yang dipublikasikan Majalah Suara Islam: Mengenai hukum menghormati bendera, sejumlah ulama Saudi Arabia yang bernaung dalam Lembaga Tetap Pengkajian Ilmiah dan Riset Fatwa (Lajnah ad Daimah li al Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta) telah mengeluarkan fatwa dengan judul ‘Hukum Menyanyikan Lagu Kebangsaan dan Hormat Bendera’, tertanggal 26 Desember 2003.

Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang muslim berdiri untuk memberi hormat kepada bendera dan lagu kebangsaan dengan alasan:

Pertama, Lajnah Daimah menilai bahwa memberi hormat kepada bendera termasuk perbuatan bid’ah yang harus diingkari. Aktivitas tersebut juga tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW ataupun pada masa Khulafa’ ar-Rasyidun.

Kedua, menghormati bendera negara juga bertentangan dengan tauhid yang wajib sempurna dan keikhlasan di dalam mengagungkan hanya kepada Allah semata.

Ketiga, menghormati bendera merupakan sarana menuju kesyirikan.

Keempat, penghormatan terhadap bendera juga merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang kafir, mentaklid (mengikuti) tradisi mereka yang jelek serta menyamai mereka dalam sikap berlebihan terhadap para pemimpin dan protokoler-protokoler resmi. Padahal, Rasulullah SAW melarang kita berlaku sama seperti mereka atau menyerupai mereka.

Tentu saja orang-orang yang merasa dirinya nasionalis geram dengan fatwa semacam ini, dianggapnya hal ini penghinaan dan bukti ketidakcintaan pada negara. sebagaimana yang dilakukan aparat keamanan yang buru-buru memeriksa para aktifis PKS yang dianggap menginjak-injak kain berwarna merah putih dalam suatu acara (bandingkan dengan perlakuan aparat terhadap para personel Band Dewa 19 yang jelas-jelas menginjak kain bermotifkan lafadz kaligrafi Allah-mereka sama sekali tidak ditindak).

Lebih aneh lagi sikap sebagian orang yang mengaku ulama kaum muslimin agar disebut moderat mereka buru-buru mengatakan bahwa menghormat bendera tidak sama dengan menyembah bendera, okelah jika itu memang itu benar karena kita juga tidak mengatakan bahwa semua orang yang menghormat bendera sama dengan syirik, sebab fatwa itu juga hanya menyebutkan bahwa menghormati bendera merupakan sarana menuju kesyirikan, hanya sarana atau alat, belum tentu sampai, tergantung niatnya, sebagaimana kata para ulama penghormat bendera.namun bukanlah lebih selamat jika kita menghindari jalan yang menuju kesyirikan, sebagaimana kita menghindari jalan yang menuju jurang?

Jika mereka mengatakan tidak semua hormat bendera itu syirik,toh kita juga boleh mengatakan bahwa tidak menghorat bendera juga tidak berarti tidak cinta tanah air dan kurang patriotis. malulah kita dengan Tengku Abdul Jalil atau Kyai Zainal Mustofa yang syahid melawan Jepang, hanya "gara-gara'tidak mau membungkuk badan ke arah timur, yang mereka anggap penghormatan itu sebagai ibadah. Jika dianggap terlalu jauh, bolehlah bandingkan, siapa yang paling berani menentang infiltrasi asing seperti Amerika,juga Israel ke Indonesia? apakah para nasionalis yang sembunyi di Singapura setelah menilep duit rakyat ataukah para dai dan mujahid Islam yang sering mereka sebut fundamentalis, bahkan teroris.

Rasanya kutipan seorang kawan ini cukup menyentil hati yang masih sehat dan akal yang masih berfungsi, " Hormat bukan berarti menyembah=iya betul! tapi tidak hormat bendera bukan berarti juga tidak patriotisme dan cinta tanah air…!

Hormat bendera bagi saya adalah sia-sia dan pekerjaan mubazir…ngapain hormat ke benda mati! beda kalo saya menghormati Presidan, Menteri, Gubernur bahkan Pak RT sekalipun…. saya sangat hormat kepada mereka! tapi hormat saya kepada mereka juga bukan disimbolkan dengan gerakan hormat! berapa banyak orang yg melakukan gerakan hormat tapi nyatanya mereka adalah para koruptor di lembaga2 negara yg dihormati!

Delapan orang tewas dalam serangan istisyhad di Chechnya

Althaf
Kamis, 1 September 2011 13:29:15
GROZNY (Arrahmah.com) – Delapan orang tewas, sebagian besar adalah personil kepolisian, dan lebih dari 20 lainnya terluka dalam dua ledakan bom bunuh diri di Chechnya akhir bulan suci Ramadhan, kata para pejabat pada Rabu (31/8/2011).
Tiga mujahidin meledakkan diri sehari sebelumnya di ibukota Chechnya, Grozny, menewaskan lima polisi, seorang pejabat kementerian dan seorang pejalan kaki, serta melukai lebih dari 20 orang lainnya.
“Satu polisi lagi meninggal saat fajar,” kata juru bicara Ramzan Kadyrov kepada AFP.
Alvi Karimov, mengatakan 22 orang dirawat di rumah sakit, lima di antaranya berada dalam kondisi “sangat serius”.
Serangan itu terjadi pada hari umat Islam merayakan Uraza Bairam (Idul Fitri).
“Ribuan orang menangis bukan merayakan,” kata Karimov.
Bom pertama meledak saat polisi sedang berusaha untuk menangkap tersangka di sebuah jalan di Grozny untuk memeriksa dokumennya.
Ledakan kedua datang dengan cepat setelah itu di tempat yang sama, kata para pejabat. (althaf/arrahmah.com)

Bulan Agustus alias Ramadhan Tahun ini Menjadi Bulan Paling Mematikan bagi Amerika

Diposting pada Kamis, 1-09-2011 | 13:45:06 WIB
Bulan Agustus 2011 yang bertepatan dengan Ramadhan 1432 kemarin menjadi bulan paling mematian bagi pasukan Amerika di Afghanistan, semenjak perang dimulai sepuluh tahun lalu, menurut laporan yang dikutip agen berita ANI.

Menurut perhitungan situs independen iCasualties.org, 66 anggota militer Amerika tewas pada Agustus 2011.

30 tentara Amerika, sebagian besar pasukan khusus Angkatan Laut Seal, tewas ketika helikopter mereka ditembak jatuh gerilyawan taliban pada 6 Agustus. BBC melaporkan, insiden tersebut merupakan kerugian terbesar Amerika dalam perang di Afghanistan.

Laporan dari iCasualties.org juga menunjukkan bahwa 306 tentara Amerika telah tewas di Afghanistan dalam delapan bulan pertama tahun ini.

Angka ini turun sekitar lima persen dari delapan bulan pertama tahun 2010, ketika 321 tentara Amerika tewas.

Sedangkan di tahun ini, 10.000 tentara Amerika harus ditarik dari Afghanistan, dan 23.000 lainnya harus selesai ditarik sepenuhnya pada tahun 2012.

Langkah tersebut akan menyisakan sekitar 68.000 tetnara Amerika saja di Afghanistan. [muslimdaily.net/]

Rabu, 31 Agustus 2011

Mujahid-mujahid Amerika di kancah Jihad dunia


Senin, 21 Maret 2011 10:31:13
 حنين  مزايا
Mereka Muslim yang dibesarkan di negara yang berpenduduk mayoritas kafir.  Walau begitu, tidak menyurutkan niat mereka untuk mempelajari dan memahami Islam sebagaimana pemahaman pendahulu mereka, pemahaman para salafuh shalih.  Mereka percaya bahwa jihad merupakan jalan terbaik untuk membela Islam.

Patrick Boyd Daniel. Ditangkap pada 27 Juli 2009.  Daniel dianggap sebagai pemimpin dari kelompok yang terdiri dari tujuh orang di Carolina Selatan.  Ia dituduh mendukung gerakan jihad di negara-negara lain termasuk Israel, Yordania, Kosovo dan Pakistan.  Menurut dakwaan, Daniel menerima pelatihan “Islam radikal” di Pakistan dan Afghanistan, namun dia tidak dikaitkan dengan Al Qaeda atau kelompok jihad lain yang beroperasi di daerah tersebut.

Adam Gadahn.  Gadahn adalah anggota Al Qaeda asal Amerika yang paling dicari dan merupakan warga negara Amerika Serikat pertama sejak tahun 40-an yang dikenakan tuduhan pengkhianatan.  Dia adalah salah satu dari dua warga AS yang berada dalam daftar FBI dan termasuk 28 “teroris” yang paling dicari dan AS menawarkan 1 Juta USD untuk informasi yang mengarah kepada penangkapannya.  Gadahn dilahirkan di Oregon dan dibesarkan di California, dianggap seorang komandan senior untuk Syaikh Usamah bin Ladin dan dilaporkan memainkan peran sebagai penerjemah, produser video dan penerjemah budaya.  Dalam gambar di atas, Gadahn terlihat dalam sebuah video yang diposting di internet, dalam pesannya ia memuji seorang Angkatan Darat AS yang membunuh 13 orang di basis militer Fort Hood di Texas.

Abdul Rahman Yasin.  Lahir pada tahun 190 di Bloomington.  Yasin dicari karena diduga berpartisipasi dalam pemboman tahun 1993 di WTC, yang mengakibatkan kematian enam orang.  Dia adalah salah satu dari dua orang warga AS yang masuk dalam daftar FBI, AS menawarkan sampai 5 juta USD untuk informasi mengenai dirinya.  Poster di atas disebar pada tahun 2001.

Syaikh Anwar al-Awlaki.  Lahir pada tahun 191 di Las Cruses.  Ulama kharismatik ini kadang disebut sebagai “bin Ladin di internet”. Syaikh al-Awlaki berusaha menjangkau Muslim berbahasa Inggris dalam ceramahnya dan mendorong mereka untuk terlibat dalam jihad di Barat.  Dia telah dikaitkan dengan penembakan di Fort Hood oleh Mayor Nidal Malik Hasan dan percobaan pemboman di pesawat oleh Umar Farouk Abdulmutalib, mujahid asal Nigeria.



Omar Hammai
. Ia dilahirkan di Alabam, pernah muncul di fitur New York Times, “The Jihadi Next Door”.  Dibesarkan sebagai seorang Kristen.  Putra dari ayah dan ibu Amerika-Suriah ini lambat laun mengenal Islam dan menjadi “Islam fundamentalis” pada tahun 2007 lalu bergabng dengan Al Qaeda Somalia yang mendukung kelompok Al Shabaab.  Dia dikatakan sebagai bintang dan perekrut utama, foto di atas adalah pesan videonya pada 31 Maret 2009 yang dirilis dalam forum jihad.



Najibullah Zazi
.  Ditangkap 16 September 2009.  Meskipun lahir di Afghanistan, Zazi dan keluarganya pindah ke New York pada 1999 dan menjadi penduduk secara hukum.  Dokumen pengadilan menyatakan bahwa di tahun 2008 ia pergi ke Afghanistan untuk bergabung dengan Taliban meskipun ia direkrut oleh Al Qaeda.  Dia kembali ke AS pada bulan Januari 2009, pindah ke Denver dan sebelum akhir tahun dinyatakan bersalah oleh pengadilan AS karena merencanakan meledakkan kereta api bawah tanah New York dengan bom buatan sendiri.  Dalam foto, ia dikawal keluar dari helikopter NYPD.  Ia kemungkinan akan dijatuhi hukuman seumur hidup.

Nidal Malik Hasan.  Ditangkap pada 5 November 2009.  Mayor Nidal, dokter militer AS melakukan penembakan di pos Angkatan Darat AS di Fort Hood, Texas yang menewaskan 13 orang.  Dia dilahirkan di Arlington, namun Hasan tidak pernah terjun ke zona perang.

John Walker Lindh.  Ditangkap 25 November 2001.  Lindh kelahiran Washington DC, ditangkap sebagai pejuang musuh sejak AS menginvasi Afghanistan pada tahun 2001.  Ia menjadi tertarik dengan Islam setelah melihat Spike Lee dalam film Malcolm X.  Lindh sekarang menjalani hukuman penjara 20 tahun.Dalam foto adalah Lindh saat melakukan registrasi di sebuah Madrasah Saudi Hassani Kalan Surani Bannu di Pakistan tahun 2002.



David Headley
.  Ditangkap 3 Oktober 2009. kelahiran Washington DC,  dibebankan dengan panduan lokasi untuk serangan “teroris” 2008 di Mumbai yang menewaskan 174 orang. Seperti ‘Jihad Jane’ Colleen LaRose, yang didakwa merencanakan untuk membunuh kartunis Swedia, Headley juga diduga telah merencanakan serangan terhadap koran Denmark yang menerbitkan kartun kontroversial Nabi  Muhammad Saw, pada tahun 2005. Dalam gambar Headley muncul di pengadilan federal di Chicago. Dia telah mengaku tidak bersalah dan menunggu persidangan.

Colleen LaRose, alias Jihad Jane. Ditangkap 15 Oktober 2009. Wanita kelahiran Michigan didakwa atas tuduhan konspirasi untuk memberikan dukungan material kepada teroris dan membunuh seseorang di negara asing.  Gadis pirang Amerika bermata hijau dari pinggiran kota Philadelphia menyebut dirinya Jihad Jane dan Fatima LaRose. Dia  dituduh berhubungan dengan militan melalui Internet untuk plot aksi terorisme, termasuk rencana untuk membunuh kartunis Swedia.



Faisal Shahzad
.  Dia ditangkap di bandara New York atas tuduhan bahwa ia mengendarai mobil SUV berisi penuh bahan peledak dan meledak di depan Times Square. Shahzad, warga negara Amerika Serikat kelahiran Pakistan ditangkap dan didakwa dengan tuduhan berusaha melakukan serangan, tampaknya memiliki sedikit pelatihan nyata dalam teknik bahan peledak, menurut pejabat AS. Shahzad tinggal di Shelton, dengan keluarganya sampai mereka kehilangan rumah mereka untuk penyitaan tahun lalu dan keluarga nya terbang dari AS ke Karachi pada bulan Juli 2009. Shahzad akan menghadapi tuduhan terorisme dan memiliki senjata pemusnah massal.

Polisi Pakistan mengawal lima pria yang tangannya diborgol dan diidentifikasi sebagai Aman Hassan Yemer, Abdulah Ahmed Minni, Waqar Hussain Khan, Ramy Zamzam, dan Umar Farooq .  Semuanya warga Amerika dari Virginia utara.  Mereka bermaksud bergabung dalam jihad di Afghanistan untuk membela kaum Muslim yang dijajah di sana, namun niat mereka belum tercapai, mereka telah ditangkap di perbatasan oleh polisi boneka Pakistan.  Kini mereka masih berada di penjara thagut Pakistan dan menjalani persidangan. (dbs/arrahmah.com)

Al Qaeda minta Pangeran Saudi mengusir non-Muslim

Althaf
Selasa, 30 Agustus 2011 19:02:22
DUBAI  – Seorang anggota Al Qaeda Teluk Arab memperingatkan kementrian dalam negeri Arab Saudi bahwa ia harus segera mengusir semua non-Muslim dari kerajaan. Permintaan ini merupakan salah satu dari sekian syarat yang diajukan Al Qaeda agar tidak menjadikannya sebagai salah satu target.
Syaikh Ibrahim al-Rubeish, mantan tahanan Guantanamo, mengalamatkan pesan suaranya untuk Pangeran Nayef bin Abdulaziz dengan tujuh syarat untuk mengubah negara Teluk konservatif itu dan untuk ‘menyelamatkan’ nyawa sang pangeran itu sendiri.
Salah satu syaratnya adalah mengusir non-Muslim dari Teluk Arab, serta mencabut semua hukum buatan manusia dan menegakkan pemerintahan yang mengimplementasikan Syariat Islam.
Syarat lainnya adalah pembebasan para tahanan politik, memberikan perlindungan bagi para da’i untuk berdakwah, dan berhenti menjadikan mereka yang meminta pemerintah untuk mendukung aktivitas jihad di Irak dan Palestina sebagai musuh negara.
“Inilah jalan yang harus dilalui. Jika anda melakukan semua ini, saya akan menjamin bahwa mujahidin tidak akan menyiapkan jebakan lain untuk anda dan anda akan tidur dengan nyenyak di kamar anda, serta pergi kemana pun anda inginkan tanpa rasa takut,” ungkap Syaikh Rubeish dalam pesan tersebut.
Sementara itu, Pangeran Nayef berkomentar, dikutip oleh harian Saudi, Al-Eqtissadiya, pada hari Senin (29/8/2011), “terorisme akan tetap menjadi ancaman bagi kerajaan.”
“Kami akan terus menjadi target para teroris yang berusaha untuk menyerang kami, dan mereka didukung oleh berbagai kelompok.”

Pemerintah Afghan bocorkan pembicaraan damai AS dengan Taliban?

BlockedSelasa, 30 Agustus 2011 19:02:44
WASHINGTON (Arrahmah.com) – Sejumlah pejabat AS menyatakan pada hari Senin (29/8/2011) bahwa pemerintah Afghan sengaja membocorkan rincian pertemuan rahasia Amerika Serikat dengan utusan Taliban.
Pakistan tidak disertakan dalam perundingan, ungkap laporan Associated Press yang kemudian dikonfirmasi oleh pejabat senior kontra-terorisme AS yang berbicara kepada berbagai media AS.
Menurut laporan AP, mujahidin Taliban juga ingin Pakistan tidak disertakan dalam pembicaraan dan telah meminta Amerika untuk tidak berbagi rincian pertemuan dengan Islamabad.
Masih dalam laporan yang diterbitkan oleh AP, Amerika Serikat tetap mengadakan pertemuan terpisah dengan Pakistan untuk menilai bagaimana mereka akan bereaksi terhadap kesepakatannya dengan Taliban. Amerika yakin bahwa pemimpin mujahidin Taliban bersembunyi di Pakistan.
Sebagai bagian dari upaya ini, Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri AS, Senator John Kerry, telah bertemu Kepala Angkatan Darat Pakistan, Jenderal Ashfaq Pervez Kayani, di negara Teluk bulan lalu.
Dalam pertemuan maraton delapan jam itu, pembicaraan damai dengan mujahidin Afghanistan menjadi topik utama, klaim laporan itu. AS meminta Pakistan memberikan peran yang lebih besar dalam mewujudkan ‘perdamaian’ di Afghanistan.
Menurut klaim laporan itu, AS bertemu setidaknya tiga kali dengan perantara pribadi Mullah Mohammed Omar, Tayyab Aga, yang kini bersembunyi di Eropa karena takut hidupnya terancam. Pemerintah Afghanistan, yang marah pada Washington atas keputusan untuk melakukan perundingan diam-diam dengan utusan Taliban, sengaja membocorkan rincian pembicaraan tersebut.
Kebocoran ini berasal dari rasa takut Presiden Afghanistan, Hamid Karzai, bahwa perundingan AS-Taliban akan melemahkan kekuasaannya.
Namun, para pejabat AS mengatakan bahwa Washington akan terus melanjutkan negosiasi, meskipun ia tidak memiliki kontak langsung dengan Aga dalam beberapa bulan ini.
AS, seperti dikutip Dawn.com, mengklaim telah menawarkan konsesi kecil bagi mujahidin Taliban sebelum kebocoran itu terjadi. Dalam pembicaraan itupun, AS menjamin Aga aman bepergian ke Jerman. AS dan Taliban juga membahas pembebasan seorang tentara AS ditangkap oleh mujahidin Taliban.
Seorang anggota Dewan Perdamaian Afghanistan Tinggi mengatakan pada AP bahwa kebocoran itu menunjukkan adanya ketidakpercayaan antara pemain utama (AS dan Afghanistan). Dia mengatakan Amerika Serikat, Pemerintah Afghanistan, Dewan Tinggi Perdamaian, serta Dewan Keamanan Nasional Afghanistan masing-masing memiliki rahasia sendiri, sehingga pembicaraan tidak terkoordinasi dengan baik. (althaf/arrahmah.com)

Pemerintah bantah minta maaf atas kekeliruan sidang Itsbat

Althaf
Selasa, 30 Agustus 2011 21:10:16
Hits: 1769
JAKARTA (Arrahmah.com) – Pemerintah menanggapi serius beredarnya kabar bahwa pemerintah meminta maaf atas kesalahan hasil Sidang Itsbat 1 Syawal 1432 H yang digelar Senin (29/8/2011).
Kabar terebut dibantah tegas oleh Kementerian Agama. Tuduhan tersebut sama sekali tidak berdasarkan fakta. “Itu sama sekali tidak benar,” kata Dirjen Bimas Islam Kemenag, Nasaruddin Umar, Selasa (30/8).
Pemerintah, kata Nasaruddin, kini tengah berkoordinasi dengan pihak berwajib melacak sumber awal mula peredaran kabar tersebut. Ia mensinyalir ada kekuatan dan gerakan yang sengaja memprovokasi umat. Tindakan tersebut dinilai tidak bertanggungjawab.
Ia pun mengimbau segenap umat agar menahan diri dan tidak terprovokasi. Kabar-kabar yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sepatutnya tidak dipercayai.  “Pemerintah menegaskan tetap memegang hasil keputusan itsbat kemarin yang menetapkan 1 Syawal jatuh besok, Rabu (31/8),” kata Nasaruddin.
Sebelumnya, marak beredar di jejaring sosial dan Blackberry Messenger (BBM) pesan yang menyatakan pemerintah meminta maaf menyusul kekeliuran dalam penetapan 1 Syawal 1432 H.
Pesan itu berbunyi: “Hilal terlihat Subuh tadi! Semalam hilal tertutup Venus! Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Mesir, Qatar, Bahrain, Yordania, dan Uni Emirat Arab lebaran pada hari ini. Hukum orang yang berpuasa pada 1 Syawal adalah haram! Pemerintah akhirnya mengakui bahwa Hari Raya Idul Fitri di tetapkan pada hari ini, 30 Agustus 2011. Di Saudi Arabia, Malaysia, Jepang, Belanda, Qatar, Mesir, Uni Emirat Arab, dan negara-negara lainnya serempak menjalankan shalat Ied/Hari Raya Idul Fitri hari ini. Hadits: “Apabila ‘takbiran’ sudah berkumandang maka haram baginya yang masih berpuasa.” Subhanallah, agama bukan permainan perdebatan. If you care, forward this broadcast message. Sorry for BBM, I care about Islam. Lanjutkan terus BBM ini biar sampai ke pemerintah biar tahu kalau mereka membuat kesalahan fatal! Thank you.”

Janganlah Membenci Neraka

Diposting pada Kamis, 31-05-2011 | 17:00:26 WIB

Janganlah Membenci Neraka

Sejauh pengetahuan, di alam akhirat hanya ada dua tempat kembali. Pertama adalah neraka. Di sinilah pada hakekatnya manusia berada yang karenanya manusia lebih tepat disebut sebagai calon-calon ahli neraka daripada ahli surga (Jannah). Sementara tempat kembali yang kedua adalah surga atau Jannah.
“Sungguh bukanlah seseorang itu masuk al jannah karena amalannya. Para shahabat bertanya: “Demikian juga engkau wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam?” Beliau berkata: “Demikian juga saya, melainkan Allah subhanahu wata’ala melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. (HR. Al Bukhari no. 6463 dan Muslim no. 2816).
Ketika bercerita tentang surga, kurasa kita akan lebih antusias mendengarkan dan menyimaknya. Anganpun mulai membayang-bayangkan betapa bahagianya di sana. Namun sebaliknya, ketika kita mendengar neraka, seolah-olah hanya mendengar namanya saja kita enggan membicarakannya. Boleh jadi kita membencinya. Bahkan tak jarang diantara kita yang berangan-angan agar Allah SWT memusnahkannya saja (bc: neraka_pen).
Namun kita perlu ingat perkataan Allah SWT dalam surat Adz Dzariyat ayat 49 bahwa “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.
Jika kita membenci keberadaan neraka, maka sebenarnya kita akan meniadakan setengah dari keadilan. Sesungguhnya, di dalam neraka terdapat refleksi setengah keadilan. Dan di dalam surga terdapat refleksi setengahnya lagi. Jika neraka dihapuskan begitu saja, lalu kenapa manusia harus diperintahkan untuk selalu taat kepada perintah Allah SWT...? wallahu a'lam.
Semoga kita dihindarkan dari neraka.
ا تسخَط جهنَّم .. فهي تُمَثِّلُ نصفَ العدل .. والجنَّةُ تُمثلُ النصفَ الآخر منه
Abdul Mun’im Mushtofa Halimah “Abu Basheer Ath Thurtusi” (sumber di sini).

Selasa, 30 Agustus 2011

"Belanja di Rabbani dilarang pake kerudung"

Rasul Arasy
Jum'at, 30 Agustus 2011 12:54:27
Hits: 2524
JAKARTA (Arrahmah.com) – Niatnya awalnya sih untuk promosi, tapi ternyata spanduk promosi ‘kontroversial’ malah berbuah protes dari ormas Islam. Produsen jilbab merek Rabbani selama ramadan memasang spanduk kontroversial yang bertuliskan “Selama Ramadan, Belanja di Rabbani Dilarang Pake Kerudung” di sejumlah cabang.
Spanduk tersebut juga terlihat di gerai Rabbani di Jalan Margonda, Depok, Jawa Barat. Pada gerai di Kota Belimbing, spanduk tersebut mendapatkan reaksi yang keras dari sekelompok organisasi Islam yang mengaku tersinggung dengan spanduk rabbani. Bahkan ormas tersebut memperingatkan jika spanduk tak diturunkan maka akan melakukan tindakan tegas.
Ormas tersebut melalui pesan singkat kepada manajemen Rabbani berisi permintaan untuk menurunkan spanduk yang dianggap telah melecehkan kaum muslimah, bahkan gara-gara spanduk itu sebagian pelanggan Rabbani bukannya tertarik untuk membeli seperti niat awal pemasangan spanduk promosi tersebut, tetapi malah enggan untuk menyambangi toko.
Marketing Coomunication Rabbani, Tito Tjiptono mengungkapakan terdapat kesalah pahaman. Ia menjelaskan pada kenyataannya Rabbani adalah perusahaan produsen Jilbab, yang sudah mengkampanyekan pemakaian jilbab kepada muslimah.
“Mana mungkin kita melarang perempuan berjilbab untuk datang ke toko jilbab kita,” katanya.
Tito menjelaskan bahwa spanduk tersebut merupakan sebuah strategi marketing Rabbani, ditambah dengan gambar yaitu 2 buah gambar, yang pertama memvisualisasikan tangan yang memegang kerudung dengan tanda silang merah, yang berarti tidak boleh bayar menggunakan kerudung, alias barter. Gambar kedua memvisualisasikan tangan yang memegang uang rupiah dengan tanda check list merah, yang berarti boleh membayar menggunakan uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di negara ini.
Tito mengatakan bahwa spanduk tersebut merupakan himbauan kepada pelanggan yang berarti dilarang membeli produk Rabbani dengan sebuah kerudung, atau membarter kerudung dengan kerudung, melainkan pelanggan harus membayarnya dengan uang. Namun sepertinya hal tersebut dimaknai lain oleh sejumlah orang.
“Kami juga telah mengkonsultasikan kata-kata tersebut dengan sejumlah ulama, dan jika dianggap tidak layak, mengapa pemerintah daerah mengizinkan kami memasang spanduk tersebut, dan kami harus membayarnya,” jelas Tito.
Kata-kata di spanduk tersebut pada dasarnya merupakan pemanasan untuk program promosi Rabbani usai Ramadhan, yakni pengunjung bisa menukarkan jilbab lama, dengan jilbab baru.
Spanduk dengan kata-kata “Selama Ramadan, Belanja Di Rabbani Di Larang Pake Kerudung,” merupakan warming up dari promo untuk pascaramadan. Tito membuktikan pembenaran alasannya dengan mengungkapkan bahwa hingga kini pihak Rabbani tidak pernah melarang perempuan berjilbab untuk datang ke tokonya.
Ancaman seperti itu bukan yang pertama kalinya diterima oleh Rabbani. Sebelumnya di kota Semarang, Jawa Barat, ormas Islam yang sama juga memperingatkan hal yang sama. Pihak Rabbani lalu mengadakan pertemuan dengan organisasi tersebut, dan meluruskan permasalahannya. kini, kerusuhan lebih lanjut pun dapat dihindari.
Mengenai ancaman di Depok, menurut Tito pihaknya tengah mendalami hal tersebut, dan coba meluruskan permasalahan, sehingga hal-hal yang tidak diinginkan dapat dihindari. Ia juga mengklain bahwa pihaknya sudah mendatangi Polres Depok untuk membereskan masalah tersebut.

Kepala Intelijen Afghanistan di Eksekusi Taliban

Diposting pada Selasa,30-08-2011 | 10:03:00 WIB
Kepala polisi anti-terorisme di distrik Watapur, timur propinsi Kunar dibunuh oleh penculiknya, sementara itu lima pejabat intelijen terluka dalam serangan yang terjadi di Khost tenggara, hal ini disampaikan pejabat hari Sabtu.

Mayat Naqibullah, yang diculik tiga hari lalu, ditemukan di wilayah Katar Qara, kata kepala distrik Zalmay Yousufzai kepada agen beria Pajhwok Afghan News. Para tetua suku kemudian mengambil mayat tersebut dan menyerahkan kepada keluarganya.

Juru bicara Taliban, Zabihuallah Mujahid, mengatakan Naqibullah disandera oleh dua pejuang, kemudian dia dibunuh.

Dalam insiden lain, lima agen intelijen terluka saat kendaraan yang mereka tumpangi menghantam ranjau di wilayah Borgee, distrik Dwa Manda, propinsi Khost. Kepala polisi distrik, Letnan Hamidullah, mengatakan tidak ada yang ditahan sejauh ini terkait ledakan ranjau tersebut.

Seperti biasanya, Taliban mengklaim bertanggung jawab atas ledakan tersebut, Zabihuallah Mujahid mengatakan enam pejabat intelijen tewas dalam insiden tersebut. [muslimdaily.net/pajhwok]

Kisah Umar dan Sepotong Kain

Diposting pada Selasa, 10-05-2011 | 10:59:33 WIB

Ada sebuah kisah tentang seseorang yang bekerja di sebuah instansi negara di negeri ini. Ketika baru beberapa pekan dia bekerja di instansi tersebut, ia ditegur oleh atasannya karena yang bersangkutan memakai celana sedikit di atas mata kaki. Hanya beberapa centimeter saja di atas mata kaki. Sang atasan memanggil yang bersangkutan karena karyawan-karyawan lainnya mulai banyak membicarakan yang bersangkutan. Oleh atasannya, orang itu ditanya dengan sopan,”Kenapa mas fulan memakai celana yang sepertinya di atas mata kaki yang orang-orang menyebutnya celana ngatung?”
Seseorang tersebut pun tersenyum mendengar pertanyaan dari atasannya. Ia kemudian menjelaskan sedikit demi sedikit alasannya kenapa ia mengenakan celana yang sedikit sekali di atas mata kaki. Mendengar penjelasan orang itu, sang atasan pun memaklumi dan menasehatkan agar mempertahankannya.
Sekitar ribuan tahun silam, ada kisah menarik tentang sepotong kain di zaman Umar bin Khattab RA mendekati ajal. Ketika itu, Umar bin Khattab RA berada di hari menjelang kematiannya. Keadaan Umar benar-benar berada dalam keadaan yang parah dan kepayahan. Sampai-sampai ada sebagian kaum muslimin yang berkata, "Aku khawatir ia akan tewas."
Setelah itu, dibawakanlah kepada Umar minuman nabidz agar diminum oleh beliau.  Beliau pun langsung meminumnya, namun minuman tersebut keluar kembali dari lubang tikaman di perutnya.
Kemudian dibawakan kepada beliau susu dan beliau pun meminumnya. Lagi-lagi, susu tersebut juga keluar dari perutnya yang ditikam.
Dalam kondisi Umar yang seperti itu, tiba-tiba datang seorang pemuda dan berkata kepada beliau “Bergembirahlah wahai amirul mu’minin dengan berita gembira dari Allah untukmu, engkau adalah sahabat Rasulullah, pendahulu Islam, engkau adalah pemimpin dan engkau berlaku adil, kemudian engkau diberikan Allah syahadah (mati syahid)," Umar lalu menjawab “Aku berharap seluruh perkara yang engkau sebutkan tadi cukup untukku, tidak lebih ataupun kurang." Tatkala pemuda itu berbalik ternyata pakaiannya terjulur hingga menyentuh lantai (bahasa kerennya isbal_pen).
Umar lantas memanggil pemuda itu dan berkata, “Wahai saudaraku, angkatlah pakaianmu! Sesungguhnya hal itu akan lebih bersih bagi pakaianmu dan lebih menaikkan ketaqwaanmu kepada Rabbmu”, [Lihat kisahnya di Al-Bidayah Wan Nihayah tulisan Ibnu Katsir].
Di tengah keadaan yang cukup kepayahan menjelang sakaratul maut, Umar masih sempat mengingatkan seorang pemuda tentang gaya pakaiannya. Terdenger remeh memang, tetapi hikmahnya adalah betapa Umar RA tidak pernah menganggap remeh setiap permasalahan pun. Atau justru sebaliknya, justru itulah pesan Umar terakhir yang penting karena biasanya orang banyak berpesan hal-hal yang penting menjelang kematiannya. Barangkali di mata Umar, persoalan pakaian bukanlah persoalan remeh temeh namun juga tetap penting dan perlu diperhatikan. Wallahu a'lam.

Ketiadaan Khilafah, 'Idul Fitri 1432 H Berpotensi Berbeda Lagi, Haruskah Selalu Berulang?

Diposting pada Selasa, 30-08-2011 | 15:05:48 WIB

Ketiadaan Khilafah, 'Idul Fitri 1432 H Berpotensi Berbeda Lagi, Haruskah Selalu Berulang?
Islam hadir bermula sejak lebih 13 abad yang lalu. Agama yang Allah swt turunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril as, untuk mengatur setiap sendi kehidupan manusia di muka bumi, baik dalam urusan manusia dengan dirinya sendiri dalam perkara makanan dan minuman, pakaian, dan juga akhlak. Atau pun aturan yang mengatur urusan hubungan manusia dengan sesamanya dalam perkara muamalah dan persangsian serta aturan yang mengatur urusan hubungan manusia dengan penciptanya yakni Allah swt dalam perkara ibadah.
Dalam perkara ibadah, kita tentu mengenal ada dua jenis ibadah, yakni ibadah mahdah dan ibadah ghairu mahdah. Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya seperti masalah sholat, zakat, haji, shaum, umrah, mandi hadast, dll. Sedangkan Ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya, dzikir, tolong menolong dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan masalah Shiyam (puasa) dan Sholat ’Ied baik sholat ’Ied Fitri maupun sholat ’Ied Adha adalah termasuk ke dalam jenis ibadah mahdah yang berarti dalam pelaksanaan ibadah tersebut berdasarkan tuntunan baik di dalam al qur’an, as sunnah, serta yang ditunjukan oleh keduanya tadi yakni ijma’ sahabat dan qiyas syar’i. Artinya adalah setiap pelaksanaan ibadah mahdah tersebut wajib hukumnya untuk terikat dengan hukum-hukum syara’ yang digali dari dalil-dalil syara’ di atas.
Namun memang para ’ulama berbeda pendapat dalam beberapa masalah tertentu dalam menghukumi sebuah fakta. Ini terjadi karena adanya perbedaan dalam metode penggalian (tharîqah al-istinbath) hukum tersebutIni disebabkan adanya perbedaan dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (1) perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkâm); (2) perbedaan dalam cara memahami nash; (3) perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash.
Salah satunya terjadi pada saat menentukan kapan 1 Ramadhan, dan kapan 1 syawal. Kita tentu sudah sering menyaksikan banyaknya terjadi perbedaan masalah ini baik di Indonesia maupun di belahan bumi lainnya, termasuk di tanah arab sendiri.
Hal ini sebenarnya bukan masalah yang baru, para ’ulama terdahulu juga berbeda dalam menyikapi hal ini. Pun termasuk di dalamnya para Imam Madzhab.
Saya tidak akan membahas terlalu detail masalah ini, karena sudah banyak kitab-kitab fiqih yang membahas perbedaan ini ataupun kitab-kitab yang meluruskan perbedaan tersebut salah satunya kitab al jami’ li ahkam a shiyam.
Tahun ini, 2011 atau 1432 dengan kalender Hijriah, kita wajib bersyukur karena mayoritas umat Islam se-Dunia termasuk di Indonesia mengawali 1 Ramadhan 1432 H secara serempak. Walaupun metode dalam menetapkan 1 Ramadhan 142 H yang lalu dengan metode berbeda-beda. Ada yang menggunakan metode ilmu hisab, metode rukyat lokal, metode rukyat global, termasuk dengan metode wilayatul hukmi sebagaimana yang yang berlaku di sebagian besar negeri-negeri muslim maupun negeri barat.
Namun, tahun ini tampaknya umat Islam akan kembali mengalami perbedaan dalam menetapkan kapan 1 syawal. Sebagaimana yang di sampaikan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia KH Ma'ruf Amin, dalam acara Taushiyah MUI menyambut Idul Fitri 1432 H, di Sekretariat MUI Jl Proklamasi. Beliau mengatakan bahwa ”Bagi yang berpatokan kepada rukyatul hilal, pasti sulit melihat hilal. Sedangkan disisi lain ada yang berpatokan pada wujudul hilal. Makanya Lebaran berpotensi berbeda," Kata beliau.
Ada beberapa kriteria penentuan awal bulan hijriyah, yaitu rukyatul hilal, wujudul hilal, imkanur rukyat dan rukyat global. Keempat kriteria itu kadang menghasilkan ketetapan awal bulan yang berbeda, meskipun sama-sama menetapkan ada bulan (hilal) saat matahari terbenam. Bahkan, kriteria yang sama belum tentu menghasilkan ketetapan yang sama, misal karena perbedaan tempat acuan (tempat melihat bulan).
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.

Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), dan bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset after sunset) maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) bulan saat matahari terbenam.
Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) hijriyah dengan mengamati bulan dengan ketentuan bulan telah berada di atas ufuk saat matahari terbenam, dengan ketinggian bulan minimal antara 2 hingga 8 derajad. Ketentuan tinggi minimal bulan sabit ini terkait dengan bisa tidaknya dilihat oleh teropong atau mata.
Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) hijriyah yang menganut prinsip bahwa jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.
Apakah Harus Selalu (Boleh) Berbeda?
Sebagaimana yang kita fahami bersama bahwa Umat Islam adalah umat yang satu (al ummah al wahidah), memiliki tuhan yang satu yakni Allah swt, Rasul yang satu yakni Muhammad saw, kitab yang satu yakni Al Qur’an, serta kiblat yang satu yakni ka’bah.
Rabb (Tuhan) kita satu yaitu Allah SWT
Umat Islam hanya mempercayai satu Tuhan yang mencipta alam semesta ini.Tuhan yang wajib disembah, diagungkan dan ditaati perintahnya dan dijauhi larangannya, dan hanya kepadanya mereka menggantungkan segala urusan. Tuhan yang Maha Esa yaitu Allah SWT. Allah SWT berfirman:
   Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa". (QS. Al-Ikhlas [112] : 1)
   Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. (QS. Al-Ikhlas [112] : 2)
Kitab kita satu yakni Al Qur’an
Umat Islam mempercayai Al Qur'an sebagai pedoman hidup, yang mengatur seluruh urusan mereka. Didalamnya terdapat hukum-hukum yang menyelesaikan segala urusan.Oleh karena itu apabila terjadi perselisihan diantara mereka, maka mereka kembalikan kepada Al Quran untuk mendapatkan penyelesaian masalahnya. Dan mereka akan menerima keputusan itu dengan penuh kerelaan. Allah SWT berfirman:
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَى هَؤُلَاءِ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl [16] : 89)
Nabi kita satu yakni Muhammad SAW
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. Al-Hashr [59] : 7)
Qiblat kita satu yaitu Ka'bah Baitullah
Umat Islam menjadikan Ka'bah sebagai kiblat yang menyatukan hati-hati mereka. Semua umat Islam menghadap ke kiblat ketika mengerja kan shalat sebagai ibadah yang paling utama dalam Islam. Di manapun mereka berada,mereka harus menghadapkan wajahnya ke arah ka'bah baitullah yang suci. Dan pada setiap musim haji umat Islam dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong mendatangi tempat ini untuk menyambut seruan Allah kepada mereka dengan melakukan ibadah haji. Dan bagi mereka yang tidak mendatangi tempat ini karena tidak ada biaya dapat mengerjakan shalat 'Ied di tempat mereka masing-masing dengan menghadap ke tempat yang sama sebagai ungkapan kebersamaan. Allah SWT berfirman yang artinya:
Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf,dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud. (QS. Al-Hajj [22] : 26)
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamudengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS. Al-Hajj [22] : 27)
Kepemimpinan kita juga satu yakni Khilafah
“Islam menjadikan kaum muslimin sebagai umat yang satu, menyatukan mereka dalam satu negara, memberikan satu imam bagi mereka guna memerintah negara yang satu dan umat yang satu tersebut, yang bertugas menegakkan Islam dan mengendalikan berbagai urusannya dalam batas-batas yang ditetapkan oleh Islam.” (Dr. Abdul Qodir Audah, Al Islam wa Audho’unaa As Siyaasiyah, hal. 278, Muassasah Ar Risalah, 1981)
Namun mengapa kita tidak bersatu ketika memulai puasa dan ketika berhari raya yang sama namun waktunya kadang-kadang tidak bersatu? Jawabannya adalah karena ketiadaan seorang pemimpin bagi seluruh kaum muslim. Seorang pemimpin yang disebut sebagai khalifah. Seorang khalifah yang memerintah seluruh umat Islam se dunia, serta menyatukannya dalam satu ikatan yang kokoh yakni ikatan aqidah Islamiyyah dalam bingkai sebuah sistem kenegaraan yang disebut sebagai sistem Khilafah Islamiyyah.
Ketiadaan khilafah menyebabkan umat Islam menjadi terkotak-kotak atas nama ide nasionalisme yang sekaligus menjadi pengikat di antara bangsa yang ada di dalam negara-negara tersebut. Sehingg berimbas pula pada penetapan awal Ramadhan dan awal 1 syawal yang berbeda, sehingga umat Islam selalu berbeda dalam memulai puasa dan berhari raya.
Sistem Khilafah Akan Menyatukan Umat
Seorang khalifah memang tidak berhak dan boleh mengadopsi persoalan ibadah. Sebagaimana yang juga tercnatum dalam mukadimah ad dustur yang dikarang oleh Syaik Taqiyudin an Nabhani. Pasal 4 Rancangan UUD itu berbunyi: Khalifah tidak mengadopsi hukum syariah tertentu dalam ibadah, kecuali zakat dan jihad, serta apa saja yang menjadi keharusan untuk menjaga persatuan kaum Muslim. Khalifah juga tidak mengadopsi ide apa pun yang berkaitan dengan akidah Islam.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 19).
Jelas dari bunyi pasal itu, bahwa Khalifah tidak mengadopsi hukum-hukum syariah tertentu yang bersifat khilafiyah dalam persoalan ibadah. Khalifah juga tidak mengadopsi ide-ide tertentu yang terkait dengan akidah Islam, misalnya mengadopsi mazhab (aliran) Muktazilah atau aliran Wahabi (Salafi).
Imam an-Nabhani menyatakan sikap Khalifah yang demikian itu dimaksudkan untuk menjauhkan diri dari berbagai masalah serta untuk mewujudkan ketenteraman dan kerukunan di tengah umat (Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 19).
Dapat dibayangkan, andaikata Khalifah mengadopsi satu hukum tertentu dalam persoalan ibadah atau mengadopsi suatu aliran akidah tertentu, akan banyak masalah yang harus dihadapi Khalifah. Misalnya, munculnya rasa tidak senang dari rakyat kepada Khalifah. Ketidakpuasan rakyat ini dapat berkembang ke arah sikap pembangkangan rakyat yang tentu tidak baik bagi stabilitas negara.
Sebagai contoh, andai Khalifah mengadopsi pendapat bahwa melafalkan niat dalam ibadah (seperti wudhu, shalat, puasa, dsb) adalah bid’ah. Umat pun dilarang oleh Khalifah untuk melafalkan niat. Apa yang akan terjadi? Pasti di antara umat Islam ada yang tersinggung dan sangat keberatan dengan pelarangan oleh Khalifah itu, meski memang ada ulama yang berpendapat melafalkan niat itu bid’ah (Abdat, Risâlah Bid’ah, hlm. 175). Akan timbul pro-kontra yang merusak kerukunan umat karena sebagian umat yang tidak terima akan menjawab bahwa melafalkan niat bukanlah suatu bid’ah. (Harmi dkk, Kiai NU Tidak Berbuat Bid’ah, hlm. 15).
Contoh lain, jika Khalifah mengadopsi pendapat Wahabi (Salafi) bahwa ayat-ayat sifat tidak boleh ditakwilkan. Kelompok Wahabi tidak membenarkan pemahaman penganut Asy’ariyah yang menakwilkan “tangan Allah” (yadulLâh) sebagai “kekuasaan Allah” (qudratulLâh) (QS al-Fath [48] : 10). Penganut Wahabi pun sering menganggap penganut Asy’ariyah sebagai kelompok sesat, meski paham Asy’ariyah itu sesungguhnya didasarkan pada pemahaman lughawi dan pemahaman syar’i yang kuat. Jika Khalifah mengadopsi paham Wahabi ini, pasti di antara umat Islam ada yang tidak terima disebut sesat atau menyimpang.
Di sinilah kita dapat mengerti bahwa memang lebih bijaksana dan lebih tepat kalau Khalifah tidak mengadopsi baik itu menyangkut hukum-hukum tertentu yang khilafiyah dalam masalah ibadah maupun menyangkut ide-ide tertentu yang berkaitan dengan akidah. Khalifah cukup melakukan pengawasan secara umum (isyraf ‘âm) kepada masyarakat dan mencegah tindakan saling membid’ahkan atau mengkafirkan di antara anggota masyarakat.
Namun, Imam An-Nabhani menegaskan, bahwa ketika Khalifah tidak mengadopsi, bukan berarti mengadopsi itu haram bagi Khalifah, namun artinya ialah Khalifah memilih untuk tidak mengadopsi. Sebab, mengadopsi suatu hukum asalnya adalah mubah bagi Khalifah. Jadi Khalifah boleh mengadopsi dan boleh tidak mengadopsi. Namun, Imam an-Nabhani lebih cenderung agar Khalifah tidak mengadopsi. Bunyi pasal 4 di atas redaksinya adalah: Khalifah tidak mengadopsi…” dan bukannya, “Khalifah haram mengadopsi…” (Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 20).
Alasan Memilih Tidak Mengadopsi
Lalu apa alasannya Imam an-Nabhani lebih cenderung agar Khalifah tidak mengadopsi? Ada dua alasan yang dikemukakan beliau. Pertama: karena adopsi dalam hukum-hukum ibadah dan ide yang berkaitan dengan akidah dapat menimbulkan haraj (rasa sempit di dalam hati). Padahal Islam tidak menghendaki adanya kesempitan dalam mengamalkan ajaran Islam, sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan (QS al-Hajj [22]: 78).
Kedua: karena adopsi seperti itu menyalahi fakta adopsi. Sebab, adopsi itu berada pada interaksi antarsesama manusia, bukan pada interaksi antara manusia dengan Allah SWT. Adopsi itu faktanya terkait dengan hukum-hukum muamalah atau ‘uqûbât, yang memang akan menimbulkan konflik dan sengketa di antara individu masyarakat jika tidak diatur dengan hukum yang sama.
Adapun hukum-hukum ibadah dan juga ide yang berkaitan dengan akidah, faktanya adalah pengaturan interaksi antara manusia dengan Allah SWT, bukan interaksi antarsesama manusia. Jika ada perbedaan hukum, relatif tidak akan menimbulkan konflik atau sengketa di antara individu masyarakat.
Berdasarkan dua alasan itulah, yang lebih tepat adalah Khalifah itu hendaknya tidak mengadopsi (Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 21).
Pengecualian
Meski sikap yang lebih baik adalah Khalifah tidak mengadopsi, namun ada pengecualiannya, yaitu boleh saja Khalifah mengadopsi hukum-hukum ibadah atau ide yang berkaitan dengan akidah dalam rangka untuk memelihara persatuan umat, meskipun dapat menimbulkan rasa sempit di dalam hati (haraj) dan menyalahi fakta adopsi.
Pengecualian ini karena adanya tarjîh (pengunggulan) pada nash-nash yang qath’i (pasti), yaitu nash yang qath’i tsubût (pasti penetapannya) dan qath’i dalâlah (pasti pengertiannya). Nash qath’i seperti ini lebih kuat daripada nash yang tak menghendaki adanya kesempitan dalam agama Islam. Misalnya, nash qath’i yang mewajibkan kaum Muslim bersatu dengan ikatan Islam dan melarang mereka untuk bercerai-berai (QS Ali ‘Imran [3]: 103). Nash qath’i ini lebih râjih (kuat) daripada nash yang tak menghendaki rasa sempit dalam agama Islam (QS Al-Hajj [22]: 78).
Maka dari itu, sebagai pengecualian, boleh Khalifah mengadopsi hukum-hukum ibadah tertentu, seperti hukum-hukum jihad dan zakat, demi menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam. Sulit dibayangkan negara Khilafah dapat memungut zakat secara optimal dari umat Islam kalau Khilafah tidak mengadopsi hukum-hukum tertentu dalam masalah zakat. Khalifah juga boleh mengadopsi kesatuan awal puasa Ramadhan, kesatuan pelaksanaan haji, juga kesatuan Idul Fitri dan Idul Adha, dalam rangka untuk memelihara persatuan kaum Muslim. Fakta menunjukkan bahwa perbedaan hari raya sering menimbulkan suasana tidak nyaman bahkan permusuhan di antara anggota masyarakat, atau bahkan di antara sesama anggota keluarga yang kebetulan berbeda mazhab. Mereka terbukti lebih senang dan lebih berbahagia jika Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari yang sama. Maka sudah selayaknya, Khalifah nanti mengadopsi kesatuan Idul Fitri dan Idul Adha bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Dan Khalifah mempunyai hak melakukan adopsi (tabanni) hukum syariah Islam dan melegislasikannya menjadi undang-undang yang berlaku mengikat bagi publik. Adopsi ini dilaksanakan Khalifah jika terdapat khilafiyah dalam hukum syariah hasil ijtihad. Maka ketika Khalifah memilih satu pendapat, rakyat wajib menaatinya sehingga perbedaan pendapat tidak ada lagi. Kaidah fiqih menyebutkan : Amru al-imam yarfa’u al-khilaf fi al-masa`il al-ijtihadiyah (Perintah Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah hasil ijtihad/khilafiyah). (M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah al-Syar’iyah, III/1797; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, I/268).WalLâhu a’lam.

Antara Islam Dan Kebudayaan Candi

PENDAHULUAN
Salah satu upaya yang dilakukan oleh orientalis dalam menyingkirkan pengaruh dan peranan Islam dalam suatu masyarakat adalah melalui nativisasi. Nativisasi ini secara sederhana dapat didefinisikan sebagai usaha yang sistematis maupun tidak yang dijalankan untuk menghilangkan peran kesejarahan Islam dan umatnya dari suatu negeri dengan cara mengangkat budaya lokal setempat. Keberadaan “budaya lokal” setempat yang diangkat itu sendiri, dalam arus nativisasi, bukan merupakan  hal yang telah final, melainkan melalui proses rancang ulang yang tidak jarang merupakan hasil rekayasa belaka. Tujuan utama dari program ini adalah memarginalkan peran Islam, lantas menempatkannya sebagai “pengaruh asing” yang diposisikan berseberangan dengan “agama asli” pribumi. Bukan dalam rangka mengangkat budaya pribumi itu sendiri, melainkan lebih banyak dilakukan untuk kepentingan lain yang bersifat hegemonik, termasuk kristenisasi.
Salah satu contoh yang jelas dari proses nativisasi misalnya adalah identifikasi Mesir dengan peradaban Piramida. Dalam diskursus ini direkayasa bahwa Mesir menjadi besar karena budaya Piramid dan bukannya karena kedatangan Islam. Peranan Islam di masa lalu coba digantikan dengan peranan semu yang dilakukan oleh para Fir’aun dari masa yang jauh lebih kuno. Dalam pada ini, Islam hanya diposisikan telah meninggalkan peradaban yang tidak signifikan bagi kemajuan. Mesir menjadi maju karena mewarisi kebesaran dan semangat dari Fir’aun yang berhasil membina sejumlah bangunan monumental.
Di Indonesia, proses nativisasi ini juga dijalankan oleh para orientalis dan misionaris. Mulai dari pengaburan sejarah terkait peran ulama dan pahlawan Islam hingga pemunculan sejumlah aliran kebatinan yang tidak sepenuhnya “original”. Pada beberapa kasus bahkan bersifat mekanistis karena terbentuk melalui melalui proses rekayasa. Sejajar dengan bangunan Piramida di Mesir, di Indonesia kaum orientalis berusaha mengangkat kebudayaan candi sebagai kebudayaan asli Indonesia yang dianggap jauh lebih bermakna daripada warisan tradisi Islam.
Diskursus tentang kebudayaan candi dan upaya marginalisasi Islam dengan memanfaatkan isu ini rasanya menarik untuk dikaji. Tulisan ini disajikan untuk menjembatani wujud pewacanaan yang dimaksud. Pada giliran selanjutnya, besar harapan penulis akan menjadi pemantik bagi proses pengembangan kajian selanjutnya.
KEBUDAYAAN YANG DILUPAKAN
Kebudayaan candi sebenarnya merupakan kebudayaan yang pernah mati dan hilang dari ingatan publik masyarakat di nusantara. Usaha mengangkat kembali, candi sebagai peninggalan leluhur yang adi luhung seringkali tidak sepi dari motif dan kepentingan tertentu. Diantaranya berusaha memarginalkan peran Islam di nusantara sebagai pijakan untuk melaksanakan misi kristenisasi melalui pendekatannya untuk menemukan titik temu antara kejawen dan Kristen. Tulisan Bambang Noorsena, tokoh Kristen Orthodoks Syria, merupakan salah satu wujud dari karya yang bersifat demikian. Dalam bukunya Noorsena membuat klaim sebagai berikut:
…. Serat Wedhatama mengistilahkan sembah raga yang masih harus ditingkatkan pada tahapan yang lebih halus: sembah cipta, sembah kalbu, dan sembah rasa. Suatu penjawaan dari jalan-jalan pendakian tasawuf syari’ah, Tariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah, yang terlebih dahulu sudah dirasuki mistik Hindhu-Budha.
Penggambaran tahap-tahap pendakian mistik ini, mudah dilacak dari berbagai peninggalan bersejarah di tanah air kita. Hal ini membuktikan betapa kuat meresapnya jejak-jejak mistik Hindu, Buddha, dan Islam, yang berpadu dengan unsur agama asli. Monumen stupa Borobudur dan Masjid Demak merupakan contoh pengabadian bangunan punden berundak dari masa megalitikum. Bangunan stupa Borobudur disebut dari bawah: Kamadatu (alam keinginan), rupadatu (alam rupa), dan arupadatu (alam tanpa rupa) sejajar dengan masjid Demak bersusun tiga yang melambangkan Syari’ah, tariqah, dan haqiqah. Sedangkan tujuan tertinggi dari perjalanan mistik digambarkan dengan makuta di ujung atas masjid yang semotif dengan stupa teratas Borobudur yang dulu kosong karena menggambarkan keabadian alam Buddha (sunya).[1]
Dalam kutipan di atas, nampaknya Bambang Noorsena menggambarkan bahwa sejumlah tradisi Islam telah mengalami penjawaan sedemikian rupa dengan masuknya unsur-unsur agama Jawa asli setelah sebelumnya dirasuki mistik Hindhu dan Buddha. Dengan demikian Islam dalam sejumlah karya sastra Jawa tersebut oleh Bambang Noorsena ditempatkan sebagai entitas yang sepenuhnya tunduk terhadap agama asli Jawa. Noorsena kemudian berusaha membuktikan bahwa jejak-jejak perpaduan agama itu dapat dilacak pada sejumlah peninggalan sejarah di tanah air termasuk Candi Borobudur dan Masjid Demak.
Argumentasi Bambang Noorsena bahwa keempat jalan pendakian tasawuf Islam telah direduksi oleh pengaruh mistik Hindu dan Buddha dengan mengambil bukti pendukung berupa Candi Borobudur dan Masjid Demak, jelas merupakan rasionalisasi yang kurang tepat. Tentang Borobudur, misalnya, candi yang dianggap sebagai warisan bangsa Indonesia ini memang seringkali ditempatkan sebagai bukti bahwa Budhisme pernah sedemikian kuat pengaruhnya bagi sebagian masyarakat Jawa. Sampai pada titik ini tidak terlalu ada masalah. Namun kemudian justru kenyataan ini dimanfaatkan sebagai justifikasi bahwa Budhisme masih memainkan peran hingga pada masa kini dengan bukti Borobudur ini. Termasuk memposisikan ajaran Islam di Jawa yang dianggap telah tereduksi oleh semangat Budhisme karena masih mengadopsi ciri-ciri arsitektural yang sama. Jelas ini adalah proses untuk menempatkan posisi generasi mendatang dengan “ingatan” yang dibentuk dengan sebuah “kelupaan sejarah”.
Borobudur sendiri sebenarnya telah pernah lenyap dari ingatan kolektif penduduk nusantara. Soediman, seorang Pengajar di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada serta pernah menjabat sebagai Pimpinan Harian Kantor Pelaksana Proyek Pemugaran Candi Borobudur, mengungkapkan bahwa Borobudur baru diketemukan kembali pada tahun 1814 setelah kira-kira delapan abad dilupakan orang dan terpendam di dalam tanah. Pada waktu diketemukan candi ini berada dalam keadaan menyedihkan.[2] Candi ini telah berujud menjadi sebuah gunung kecil atau bukit yang ditutupi oleh semak belukar. Di gunung tersebut banyak ditemukan potongan-potongan arca oleh penduduk setempat yang pemberani. Sedangkan umumnya penduduk saat itu justru takut untuk datang ke gunung yang kemudian diketahui sebagai Borobudur. Penyebabnya, masyarakat era itu menganggap bahwa gunung tersebut sebagai tempat angker dan berbahaya. Hingga tahun1814, Stamford Raffles, Gubernur Jendral Britania Raya di Jawa, mendengar berita penemuan sejumlah potongan arca di gunung tersebut.
Pada tahun 1900 M di bawah pemerintah Hindia Belanda maka dilakukan perawatan terhadap “bukit” yang ditemukan. Semak belukar dan tanah yang mengurugnya mulai dibersihkan dan ditemukanlah struktur bangunan candi. Sebagian besar ditemukan dalam kondisi yang sudah rusak parah. Baru pada yahun 1907 dilakukan pemugaran yang dipimpin oleh Theodore Van Erp, seorang perwira Zeni Angkatan Darat Kerajaan Belanda. Perbaikan di bawah pimpinan Van Erp ini berlangsung antara 1907 sampai 1911. Pemugaran ini pun hanya sampai memasang beberapa buah gapura, sementara dinding lorong pertama dan kedua tetap dibiarkan miring, serta pagar langkannya masih banyak yang menganga.[3] Pada era ini Candi Borobudur pun belum bisa diperkenalkan kepada publik secara luas dengan alasan keamanan bangunan.
Dengan mencermati sejarah “penemuan kembali” Candi Borobudur ini, maka muncul pertanyaan baru, Apakah layak mendasarkan sebuah teori bahwa ajaran Buddha sedemikian kuatnya berpengaruh dengan menggunakan contoh Candi Borobudur yang disejajarkan dengan bangunan Masjid Demak? Sementara diketahui bahwa Candi Borobudur telah “hilang” selama 8 (delapan) abad sebelumnya. Boleh dikatakan bahwa “kelupaan sejarah” terhadap Candi Borobudur ini bahkan telah berlangsung melewati masa Majapahit dan Kesultanan Demak. Belum lagi jika kita harus memperhitungkan lagi proses pemugaran pasca ditemukan kembali hingga layak diperkenalkan kepada publik yang memakan waktu lebih dari satu abad sendiri.
Jadi, Borobudur sendiri sebenarnya telah “pernah mati” dalam alam pikiran orang Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa ingatan publik masyarakat Jawa terhadap simbol kebesaran masa lalu berupa ajaran Budha ini tidak terlalu mendalam atau bahkan tidak ada. Hanya merupakan sapuan cat yang mudah terkelupas dari sepotong kayu. Kebesaran masa lalu yang terlalu diagung-agungkan dengan melupakan kenyataan sejarah yang lebih besar. Sebuah bukti bahwa “keagungan” masa lalu bisa dibangkitkan kembali dengan menjajah ruang kesadaran kita. Oleh karena itu menghubungkan antara tingkatan yang ada dalam Candi Borobudur dengan tingkatan pada masjid Demak, sebagaimana pengutipan yang dilakukan oleh Bambang Noorsena, rasanya merupakan tindakan yang ahistoris dan mengada-ada.
Buku “Sejarah Nasional Indonesia” yang menjadi rujukan standar dalam penulisan sejarah tentang Indonesia juga mengungkapkan fenomena yang sama. Dikatakan bahwa beberapa masjid kuno memiliki pola lengkung  mirip kalamakara dalam mihrabnya. Beberapa bangunannya mengingatkan pada seni bangunan candi, yaitu menyerupai meru pada jaman Hindhu. Juga beberapa detail lainnya. Namun buku tersebut sama sekali tidak membuat konklusi gegabah bahwa proses adopsi maupun adaptasi bangunan fisik akan selalu diikuti dengan proses yang sama terhadap nilai “bathin” yang dimilikinya. Menariknya, kesimpulan buku tersebut justru mengungkapkan bahwa Islamisasi yang dilakukan melalui seni bangunan dan seni ukir pada sejumlah bangunan Islam justru menunjukkan bahwa proses pengislaman tersebut dilakukan dengan damai. Kecuali itu dari segi ilmu jiwa dan taktik, menurut buku tersebut, penerusan tradisi bangunan dan seni ukir pra Islam merupakan alat Islamisasi yang sangat bijaksana yang mudah menarik orang-orang bukan Islam secara perlahan memeluk Islam sebagai pedoman hidup barunya.[4] Dengan istilah lain, inilah salah satu bukti titik temu yang sulit dibantah antara Islam dan Jawa.
Untuk lebih mendalami persoalan ini, akan semakin menarik jika mencermati analogi yang dikemukakan Prof. Dr. Syed Muhammad Naguib Al Attas, pakar kebudayaan Melayu, sebagai berikut:
Sebagaimana si Ali berpakaian chara Barat memang nampak pengaruh Barat pada zahir dirinya, dengan tiada semestinya bererti bahwa batin dirinya itupun terpengaruh oleh kebudayaan Barat, begitulah juga fakta-fakta sejarah yang zahir pada sesuatu masharakat dan kebudayaannya tiada semestinya membayangkan sifat batin masharakat dan kebudayaan itu.[5]
Jadi, sejumlah bangunan Islam di Jawa yang menampilkan sebagian corak dari masa lalu tidak berarti mewarisi pola “batin” yang sama. Kesamaan pada sejumlah detail pola bangunan Hindhu dan Budha, tidak lantas menjadi bukti bahwa Islam telah mewarisi ajaran mistik kedua agama tersebut. Kesimpulan Noorsena tersebut seperti halnya bangunan gereja-gereja kuno, baik di Timur dan di Barat, seringkali memiliki detail bangunan dan menggunakan simbol-simbol yang sama yang sama dengan bangunan penganut paganisme yang ada disekitar pertumbuhan umat Kristen. Salib adalah simbol yang sama pernah dipakai oleh sejumlah ajaran pagan sebelum masa Kristen. Bukan hanya terbatas pada simbolnya, bahkan cerita-cerita seputar salib dari agama penyembah berhala tersebut hampir sama dengan detail dan ajaran dalam kekristenan. Jika didasarkan dengan hal tersebut kemudian disimpulkan bahwa “Kristen telah mewarisi tradisi mistik kaum pagan”, dimanakah posisi keberterimaan Bambang Noorsena ? Tetap konsistenkah ia dengan analogi yang diyakininya?
Jika Borobudur merupakan candi Agama Budha, maka Candi Prambanan sebagai candi bercorak Hindhu juga mengalami nasib yang kurang lebih sama. Candi Hindhu ini ditemukan secara tidak sengaja pada tahun 1797, ketika penguasa Belanda membangun markas di Klaten. Sebelumnya tidak ada gambaran bahwa disekitar tempat pembangunan markas tersebut terdapat kompleks bangunan kuno tersebut. Hal ini terjadi karena sebagian besar bangunan telah tertutupi dengan tanaman-tanaman keras. Penduduk sekitar juga menjadikan lokasi tersebut sebagai tempat pembuangan sampah. Sehingga kesulitan utama yang dihadapi oleh Belanda ketika hendak membangun kembali peninggalan Hindhu tersebut adalah menyingkirkan tanaman dan sampah yang terlanjur menutupi badan bangunan batu tersebut. Sejumlah bangunan batu yang lain yang lebih utuh memang ada yang digunakan oleh penduduk sekitar sebagai tempat pemujaan. Pemujaan yang dilakukan tentu saja bukan berasal dari tradisi Hindhu, melainkan lebih mirip ritual penyembahan terhadap batu dan pepohonan yang berasal dari kebudayaan punden berundak-undak. Sejumlah arca yang sempat ditemukan dilokasi tersebut selalu menjadi barang dagangan yang diminati oleh orang-orang asing. Sementara penduduk sekitar kompleks candi tersebut – terutama yang berprofesi sebagai pedagang – cenderung mengabaikan dengan menjadikannya sebagai “peluang” mendapatkan uang.[6]
Candi-candi lainnya secara umum memiliki nasib yang hampir serupa. Ditemukan sebagai reruntuhan yang diabaikan, tertutup oleh sejumlah pepohonan dengan tanpa perawatan, terkubur dalam tanah, atau terbengkelai memuing sehingga sukar direkonstruksi ulang hingga hari ini. Sebagian besar candi itu umumnya ditemukan kembali setelah melalui proses penggalian. Untuk selanjutnya dipopulerkan oleh kalangan akademisi orientalis maupun misionaris. Bukan dengan tujuan untuk bersimpati secara penuh terhadap wujud kebudayaan ini, melainkan untuk kepentingan lain yang akan dijelaskan selanjutnya.
ELIT YANG BERJARAK DARI RAKYAT
Saat ini kita hidup dalam era dimana kebudayaan candi merupakan salah satu khazanah warisan masa lalu yang dalam sejumlah aspek dianggap sebagai bagian dari kebesaran masa lalu. Pertanyaan yang menggelitik untuk diajukan adalah “mengapa  kebudayaan candi ini kemudian pernah ditinggalkan oleh masyarakat?”. Pada tingkatan yang lebih ekstrim bahkan budaya tutur tentang warisan kuno ini ternyata juga tidak menjadi bagian dari budaya lesan yang berkembang di antara masyarakat Jawa pada masa lalu. Kenyataan ini, tentu mengherankan bagi kita. Bagaimana mungkin, jika benar kebudayaan Candi merupakan warisan budaya yang tidak terpisah dari masyarakat, justru pada saat yang sama dilupakan oleh masyarakat tanpa berbekas sama sekali sampai wujud bangunannya direkonstruksi ulang dan diperkenalkan kembali kepada khalayak.
Realitas bahwa pernah terjadi proses “kelupaan” terhadap budaya candi ini menimbulkan sejumlah spekulasi dalam merunut peyebabnya. Dr. I. Groneman, seorang orientalis, membangun teorinya bahwa kerusakan candi ini terjadi murni akibat kejadian alamiah seperti gempa bumi, erupsi vulkanik, tanaman parasit yang merusak pondasi, dan sejumlah peristiwa lainnya. Groneman juga menyalahkan kebodohan rakyat sebagai penyebab mereka kurang menghargai produk agung warisan dari masa lampau.[7] Wacana yang dihasung Groneman ini hanya sampai pada tataran menjelaskan bagaimana hilangnya candi akibat proses alamiah yang berjalan, namun kurang menyentuh aspek kemanusiaan yang lebih konkret. Sebab jika penyebabnya adalah kebodohan manusia, justru hal ini bisa menjadi lahan subur dan sekaligus pemantik untuk pemujaan terhadap bangunan kuno. Dengan demikian tidak mampu menjelaskan mengapa kebudayaan candi ditinggalkan oleh masyarakat atau rakyat kerajaan Budha atau Hindhu.
Sejumlah cerita babad di Jawa yang vulgar mendapat pengaruh pemikiran Belanda berusaha menggambarkan bahwa terjadinya “kelupaan” sejarah terhadap kebudayaan candi ini adalah akibat pengaruh kedatangan Islam. Islam juga dianggap turut memberikan kerusakan terhadap sejumlah bangunan monumental di tanah Jawa. Prof. Dr. Denys Lombard, seorang akademisi dan pakar simbologi Perancis, mengakui kenyataan bahwa terdapat sejumlah tuduhan orientalis terhadap Islam sebagai penyebab kehancuran sejumlah candi. Lombard  sendiri membantah dengan menyatakan bahwa hampir tidak pernah ada monumen yang dihancurkan atas prakarsa pihak Islam. Candi-candi di Jawa secara umum telah menjadi reruntuhan sementara Hindhuisme masih menjadi agama mayoritas. Kedatangan Islam di Indonesia memang bersamaan waktu dengan terputusnya secara radikal tradisi-tradisi arsitektural yang telah berkembang di Jawa selama lebih delapan abad. Beberapa sejarawan Eropa berusaha menggarisbawahi bahwa Islam merupakan agama yang bersifat “mematikan” bagi kebudayaan lokal ini. Namun mereka lupa bahwa di Semenanjung Indochina, tempat dimana Islam tidak berhasil berkembang, pembangunan candi-candi besar juga telah berhenti sebagaimana yang terjadi di Jawa.[8]
Denys Lombard menggarisbawahi bahwa keruntuhan kerajaan-kerajaan Hindhu di Jawa dan penghentian pembangunan gedung-gedung batu berskala besar lebih banyak disebabkan karena kerajaan Budha dan Hindhu mengalami kemunduran karena mulai ditinggalkan oleh rakyatnya sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih memilih untuk tinggal di kota-kota pelabuhan atau wilayah sekitarnya.[9] Pola masyarakat agraris juga mulai bergeser menjadi masyarakat bisnis sehingga daerah pedalaman yang menjadi pusat kerajaan Hindhu atau Budha dinilai kurang kondusif lagi bagi gaya hidup mereka yang baru. Dengan demikian proses “kelupaan” terhadap pembangunan dan pemeliharaan candi di Jawa penyebab utamanya adalah kerajaan sebagai inisiator utama telah ditinggalkan oleh sebagian besar rakyatnya.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa kerajaan Budha dan Hindhu itu ditinggalkan oleh masyarakatnya? Drs. R. Moh. Ali, Kepala Arsip Nasional dan Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (UNPAD), yang dikutip oleh Prof. Dr. Ahmad Mansur Suryanegara, senada dengan Denys Lombard, menyatakan bahwa kebudayaan candi justru merupakan salah satu penyebab terjadinya eksodus penduduk kerajaan Budha atau Hindhu dari dari pusat kekuasaan menuju daerah pesisir atau pelabuhan. Pembangunan sejumlah candi dan patung-patung besar biasanya merupakan proyek yang melibatkan masyarakat sekitar dalam prosesnya. Masyarakat tersebut terdiri dari kalangan petani yang mata pencahariannya lebih banyak berkutat pada bercocok tanam dan memelihara ternak. Sedangkan proyek pembuatan candi dan  patung biasanya melibatkan rakyat yang digolongkan dalam kasta Sudra dan Paria tersebut dalam kerja bakti. Akibatnya kerja bakti tersebut menjadikan rakyat kecil menderita dan mata pencariannya terbengkelai. Dampaknya, mereka berusaha menyingkir dan meninggalkan wilayah pembangunan candi karena tidak ingin waktu dan tenaganya habis untuk memenuhi kewajiban kerja bakti kepada raja. Ketika Islam mulai masuk ke tanah Jawa, mereka bukan hanya meninggalkan keyakinan lamanya namun juga masuk Islam. Status sosialnya sebagai rakyat dengan kasta terendah (Sudra dan Paria) dengan sendirinya hilang setelah menganut agama Islam.[10] Sebab dalam Islam tidak dikenal adanya pembagian strata sosial yang diskriminatif sebagaimana terjadi dalam konsep kasta.
Jadi tanpa bermaksud meremehkan peran candi pada masa kini sebagai bagian dari khazanah warisan masa lalu, kebudayaan candi itu sendiri pada awalnya bukan merupakan kebudayaan yang murni milik “jiwa” masyarakat nusantara. Candi hanya berhenti sebagai milik kalangan elit kekuasaan yang terdiri dari kasta Brahmana dan Ksatriya saja. Sementara bagi kalangan rakyat jelata yang umumnya terdiri dari kasta Sudra dan Paria, candi merupakan simbol monumental sebuah proses penindasan oleh kalangan elit politis. Oleh karenanya, maka kebudayaan candi ini pada masa pembangunannya tidak menjadi bagian dari jiwa dan hati rakyat jelata. Apalagi diharapkan menjadi bagian dari kerohaniannya. Sehingga pada masa selanjutnya proses “kelupaan” terhadap tradisi ini menjadi hal yang sangat alamiah dan wajar. Realitas tentang penghargaan terhadap budaya candi pada era kini, sama halnya dengan bangunan monumental Tembok Besar di Cina yang menjadi kebanggaan negara tersebut tetapi sejarah masa lalunya –yang secara umum dilupakan orang – dibangun dengan pertaruhan jiwa rakyat yang terlibat dalam suatu proyek kerja paksa dengan korban yang tidak berbilang.
Sungguh tepat ungkapan Syed Muhammad Naguib Al-Attas, seorang pakar peradaban Melayu, bahwa peninggalan kesenian berupa tugu-tugu maupun candi-candi serta pahatan-pahatan batu yang menunjukkan kehalusan cita rasa seni tidak selalu menjadi ciri suatu peradaban yang bermutu tinggi. Kesenian memang merupakan salah satu ciri yang mensifatkan peradaban, namun pandangan hidup yang berdasarkan kesenian itu adalah semata-mata merupakan kebudayaan estetik, kebudayaan klasik, yang dalam penelitian konsep perabadan sejarah bukan menandakan suatu masyarakat yang memiliki sifat keluhuran budi dan akal serta pengetahuan ilmiah. Bahkan Sejarah telah memberikan pelajaran bahwa semakin indah dan rumit gaya senirupa, maka semakin menandakan kemerosotan aspek budi dan akal. Selanjutnya Al-Attas menunjukkan contoh Acropolis di Yunani, Persepolis di Iran, dan Piramid-piramid di Mesir yang sama sekali tidak menunjukkan peradaban dalam wujud ketinggian moralitas dan kemajuan pemikiran dari sebuah peradaban. Sebaliknya, Al-Attas menegaskan bahwa dalam menilai peranan dan kesan terhadap Islam, karakteristik yang harus dicari oleh mereka bukan pada peninggalan yang bersifat material seperti tugu dan candi melainkan pada bahasa dan tulisan yang sebenarnya lebih bersifat daya budi dan akal yang merangkum kemajuan pemikiran.[11]
Akhirnya, pengakuan seorang orientalis bernama T. Ceyler Young terkait tentang “kebudayaan asli” di negeri-negeri berpenduduk Islam patut dicermati bersama : “Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam tapi cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban-peradaban lama tersebut”.[12] Praktik mendekati budaya asli dengan kepentingan yang jauh berbeda dari sikap yang dipertunjukkan sebagaimana diakui Ceyler Young ini bukan merupakan strategi marginalisasi Islam yang aneh. Dapat dicatat bahwa Misionaris dan orientalis seperti Hendrik Kraemer (1888-1965) misalnya, ia berusaha mendekati dan mengkaji serta mengembangkan kebudayaan kejawen, namun bukan dilandasi simpati terhadap kebudayaan kejawen itu sendiri melainkan didorong oleh “keputus asaan” pasca terantuk kesulitan untuk menundukkan Islam di Jawa agar tersentuh oleh kegiatan misi penginjilan.[13] Hal yang sama juga berlaku pada sejumlah kajian orientalisme yang berusaha untuk mengembangkan diskursus “pribumi” untuk menyingkirkan peranan dan pengaruh Islam. “Pribumi” yang dimaksud tentu bukan dalam makna yang senyatanya, sebab kebudayaan Budha dan Hindhu pada dasarnya merupakan bagian dari proses yang oleh sejarawan disebut sebagai Indianisasi.

PENUTUP
Eksistensi kebudayaan candi – tanpa mengabaikan peran kekiniannya- merupakan salah satu kekayaan perbendaharaan budaya masa lalu nusantara. Akan tetapi mengangkat kebudayaan monumental ini sebagai warisan budaya adi luhung memang seharusnya dipaparkan kembali secara seimbang. Masyarakat seharusnya diberikan informasi yang sebenarnya bahwa mereka selama ini telah dikondisikan dalam bahasa-bahasa yang lebih bersifat jargon daripada menyentuh realitas. Sudah saatnya masyarakat insyaf bahwa kekayaan budaya yang berwujud demikian tidak selalu mewariskan cerminan kebudayaan yang menjunjung ketinggian moralitas dan kemajuan akal pemikiran yang menjadi ciri utama peradaban mulia.
Jadi pengembangan kebudayaan ini hendaknya diimbangi dengan informasi yang benar, bukannya terjebak dalam bahasa-bahasa slogan yang mengedepankan sikap manipulatif dan persuasif.  Informasi yang seimbang akan membentuk masyarakat yang kritis dalam menilai dan tegas dalam memposisikan titik tolak pemikirannya. Termasuk dalam diskursus budaya candi yang sebenarnya merupakan wujud jauhnya keberpihakan elit politis dengan masyarakat kelas bawah yang menjadi tanggung jawabnya. Publikasi tentang kekayaan budaya hendaknya tidak dibarengi dengan pengorbanan yang terlampau besar dengan menurunnya intelijensi masyarakat akibat proses pembodohan yang berjalan sistematis tersebut. Jika proses mengingat kembali kebudayaan lama ini dianggap menjadi bagian dari pemahaman terhadap khazanah kekayaan budaya. Maka proses kelupaan terhadap “masa lalu” yang pernah berjalan secara alamiah mestinya juga merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Sehingga perlu juga dibuka secara jujur dan tidak ditutup-tutupi.

 

Sejarah Ahmad Deedat

Masa Kecil 

Ahmed Hoosen Deedat lahir di daerah Surat, India, pada tahun 1918. Ia tidak dapat berkumpul dengan ayahnya sampai tahun 1926. Ayahnya adalah seorang penjahit yang karena profesinya hijrah berimigrasi ke Afrika Selatan tidak lama setelah kelahiran Ahmed Deedat.
Tanpa pendidikan formal dan untuk menghindar dari kemiskinan yang sangat pedih, Ahmed Deedat pergi ke Afrika Selatan untuk dapat hidup bersama ayahnya pada tahun 1927. Perpisahan Deedat dengan ibunya pada tahun kepergiannya ke Afrika Selatan menyusul ayahnya itu adalah saat terakhir ia bertemu ibunya dalam keadaan hidup karena beliau meninggal beberapa bulan kemudian.
Di negeri yang asing, seorang anak laki-laki kecil berusia 9 tahun tanpa berbekal pendidikan formal dan penguasaan bahasa Inggris mulai menyiapkan peran yang harus dimainkannya berpuluh-puluh tahun kemudian tanpa disadarinya.
Dengan ketekunannya dalam belajar, anak laki-laki kecil tersebut tidak hanya dapat mengatasi hambatan bahasa, tetapi juga unggul di sekolahnya. Kegemaran Deedat membaca menolongnya untuk mendapatkan promosi sampai ia menyelesaikan standar 6. Kurangnya biaya menyebabkan sekolahnya tertunda dan di awal usia 16 tahun untuk pertama kalinya ia bekerja dalam bidang retail (eceran).
Yang terpenting dari ini semua adalah pada tahun 1936 sewaktu Ia bekerja pada toko muslim di dekat sebuah sekolah menengah Kristen di pantai selatan Natal. Penghinaan yang tak henti-hentinya dari siswa misionaris menantang Islam selama kunjungan mereka ke toko menanamkan dendam yang membara pada diri anak muda tersebut untuk melakukan aksi menghentikan propaganda mereka yang salah.

Mempelajari Alkitab

Ahmed Deedat menemukan sebuah buku berjudul Izharul-Haq yang berarti mengungkapkan kebenaran. Buku ini berisi teknik-teknik dan keberhasilan usaha-usaha umat Islam di India yang sangat besar dalam membalas gangguan misionaris Kristen selama penaklukan Inggris dan pemerintahan India. Secara khusus, ide untuk menangani debat telah berpengaruh besar dalam diri Ahmed Deedat.
Beberapa minggu setelah itu, Ahmed Deedat membeli Injil pertamanya dan mulai melakukan debat dan diskusi dengan siswa-siswa misionaris. Ketika siswa misionaris tersebut mundur dalam menghadapi argumen balik Ahmed Deedat, ia secara pribadi memanggil guru teologi mereka dan bahkan pendeta-pendeta di daerah tersebut.
Keberhasilan-keberhasilan ini memacu Ahmed Deedat untuk berda'wah. Bahkan perkawinan, kelahiran anak, dan persinggahan sebentar selama tiga tahun ke Pakistan sesudah kemerdekaannya tidak mengurangi keinginannya untuk membela Islam dari penyimpangan-penyimpangan yang memperdayakan dari para misionaris Kristen.
Dengan semangat misionaris untuk menyebarkan agama Islam, Ahmed Deedat membenamkan dirinya pada sekumpulan kegiatan lebih dari tiga dekade yang akan datang. Ia memimpin kelas untuk pelajaran Injil dan memberi sejumlah kuliah. Ia mendirikan As-Salaam, sebuah institut untuk melatih para dai Islam. Ahmed Deedat, bersama-sama dengan keluarganya, hampir seorang diri mendirikan bangunan-bangunan termasuk masjid yang masih dikenal sampai saat ini.
Ahmed Deedat anggota awal dari Islamic Propagation Centre International (IPCI) dan menjadi presidennya, sebuah posisi yang dipegangnya sampai tahun 1996. Ia menerbitkan lebih dari 20 buku dan menyebarkan berjuta-juta salinan gratis. Ahmed Deedat mengirim beribu-ribu materi kuliah ke seluruh dunia dan mendebat pengabar-pengabar Injil pada debat umum. Beberapa ribu orang telah menjadi Islam sebagai hasil usahanya.
Sebagai penghargaan yang pantas untuk prestasi yang bersejarah itu, ia mendapat penghargaaan internasional dari Raja Faisal tahun 1986. Penghargaan bergengsi yang sangat berharga dalam dunia Islam.

Akhir hayat

Di sisa sembilan tahun usia hidupnya, Ahmed Deedat hanya bisa terbaring di tempat tidurnya di Verulam, Afrika Selatan. Dan akhirnya pada 8 Agustus 2005, ia meninggal di rumahnya di Trevennen Road di Verulam, provinsi KwaZulu-Natal, Durban. Ia lantas dimakamkan di pemakaman Verulam.

Karya tulis

Buku The Choice: Dialog Islam-Kristen adalah buku terlaris yang ditulis oleh Ahmed Deedat. Buku ini menyebar luas dari Afrika Selatan hingga ke Eropa, Asia, Oceania, bahkan Amerika Utara dan Selatan.
Dalam buku ini Deedat mengupas tuntas perbedaan antara Islam dan Kristen. Ia mengupas habis beberapa kesalahan yang ia temukan dalam Alkitab baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru..

Ratings and Recommendations

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Templates | Affiliate Network Reviews