Sandaran yang Menipu
(Member of mujahideen, Selasa 17:08:45)
Rasa
tenang dan tentram sebagai buah kebaikan yang kita kerjakan, seringkali tidakk
terhindarkan. Selain hal itu memang yang kita inginkan, bukankah tidak ada yang
lebih menentramkan daripada kesesuaian antara tindakan kita dengan Sang Pembuat
syariat? Karena kita tahu bahwa ketentraman
selain karenanya adalah palsu. Sungguh, mampu melakukan apa yang di
perintahkan, menimbulkan sensasi puas yang dahsyat!
Tapi jika
tidak hati-hati, ia bisa berubah menjadi jebakan bangga diri yang tak berperi.
Merasa telah menunaikan hak-hak Allah dan berbuat banyak ketaatan, untuk
kemudian terlena dengannya. Dalam banyak hal, ia bahkan membawa kita kepada
jumawa dan sikap meremehkan orang lain. Sehingga terkadang, kita bahkan tidak
merasa bersalah ketika akibatnya bahkan membuat mereka terluka. Kita menganggap
hal itu biasa, atau karena kita merasa lebih istimewa.
Maka
titik keseimbangannya adalah mewaspadakan diri akan kemungkinan kurang
sempurnanya persembahan, atau bahkan tertolaknyaia karena tidak memenuhi
persyaratan penerimaan. Sebuah standar sehat yang akan menimbulkan rasa takut
setelah berharap, khawatir setelah tentram, atau istinghfar setelah melakukan
ketaatan. Paduan hebat yang menjaga agar semuanya hadir dalam porsi seharusnya
dan tidak condong ke satu sisi yang akan menghilangkan esensi kebaikannya.
Kita
harus menyadari bahwa pada apa yang terlihat baik, ada keburukan di dalamnya.
Apa yang terasa menentramkan, menyimpan potensi kegelisahan. Di dalam Raja ada
khauf. Dan pada jalan keselamatan, ada banyak jebakan yang menyertainya.
Penting
untuk kita pahami bahwa ia bukan untuk mebingungkan atau membuat kita berputus
asa. Namun ia serupa formula keselamatan yang mebuat kita waspada dan
berhati-hati, tidak mudah berpuas diri dan berhenti di sebuah titik, serta
menjaga kontinuitas kebaikan yang berkesinambungan. Agar kita menyandarkan diri
semua lelah dan energi yang tercurah kepada yang pantas dan bukan sandaran
palsu yang menipu, sehingga menghanguskan semua simpanan dan membelokkan arah.
Sehingga dalam
ketaatan yang kita lakukan, ada istighfar yang mneyertainya. Kepuasan akan
persembahan yang diiringi kekhawatiran jika Allah tidak berkenan karena
ternyata banyak cacat di dalamnya. Perasaan terpilih yang bersamaan dengan
kerendahan hati, ketinggian tanpa merendahakn, atau tangisan dalam kesyukuran
atas kesempatan beramal shalih.
Memang
tidak mudah, namun hal itulah senjata ampu agar kita mampu menemui jalan
selamat yang sebenarnya. Menyandarkan diri kepada Allah dan bukan kepada amalan
sebanyak apapun kita melakukannya. Karena dalam kebaikan ketaatan, bisa saja
justru akhlak buruk menyertainya jika kita terlena. Maka mari kita waspada!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar